PAGI itu, angin laut bertiup kencang, membawa aroma asin yang tajam. Di tepi desa, rumah-rumah yang telah rata dengan tanah masih menyisakan puing-puing berserakan. Sisa kebakaran semalam meninggalkan bekas hitam di beberapa dinding yang masih berdiri. Namun di balik kehancuran itu, semangat perlawanan warga tidak surut.
Hasan berdiri di tengah halaman rumah Pak Dahlan, dikelilingi oleh beberapa pemuda yang wajahnya masih menyimpan kemarahan.
“Kita tidak bisa hanya bertahan dan menunggu serangan berikutnya,” kata Hasan dengan suara tegas. “Mereka sudah menunjukkan bahwa mereka tidak peduli dengan hukum. Jika kita tidak melakukan sesuatu, mereka akan terus menghancurkan hidup kita.”
Pak Umar yang berdiri di sampingnya menghela napas. “Aku paham kemarahan kalian, tapi kita harus tetap cerdas. Jangan sampai kita terpancing melakukan sesuatu yang malah memberi mereka alasan untuk menyerang kita lebih keras.”
Tegar, pemuda yang kemarin menghubungi LSM lingkungan, melangkah maju. “Aku dapat kabar dari kenalanku. Mereka sudah menyebarkan informasi tentang kasus kita ke beberapa organisasi HAM. Beberapa wartawan juga sedang dalam perjalanan ke desa ini.”
Pak Dahlan mengangguk. “Bagus. Kita harus manfaatkan momentum ini. Jika perhatian publik semakin besar, mereka tidak bisa seenaknya bertindak.”
Namun di saat yang sama, bahaya masih mengintai.
Di tempat lain, Rifki masih berada di dalam tahanan. Ruangan sempit dengan dinding kusam dan bau lembap membuatnya sulit bernapas lega. Sejak semalam, ia tidak diberi kesempatan untuk berkomunikasi dengan siapa pun.
Pintu sel terbuka. Seorang pria berkemeja rapi masuk, diikuti oleh dua petugas berseragam.
“Rifki, ya?” tanya pria itu sambil duduk di kursi besi di depannya.
Rifki menatapnya tajam. “Siapa Anda?”
Pria itu tersenyum kecil. “Panggil saja aku Hendra. Aku perwakilan dari perusahaan yang ingin mengembangkan proyek di desa kalian.”
Rifki mencengkeram tangannya. “Jadi kau orang yang membiayai preman-preman itu?”
Hendra terkekeh. “Preman? Aku lebih suka menyebut mereka sebagai tenaga pengaman.”
Ia mencondongkan tubuhnya ke depan. “Dengar, aku tidak mau berlama-lama. Kami ingin proyek ini berjalan lancar. Aku yakin kau paham bahwa perjuangan kalian tidak akan membuahkan hasil. Jadi, aku datang untuk memberikan tawaran.”
Rifki mengernyit. “Tawaran?”
Hendra mengangguk. “Kami bisa memberimu uang. Jumlah yang cukup besar untuk memulai hidup baru di tempat lain. Kau hanya perlu berhenti menyebarkan berita tentang desa kalian.”
Rifki menatapnya tanpa berkedip. “Dan jika aku menolak?”
Senyum Hendra perlahan memudar. “Aku akan pastikan kau tidak bisa keluar dari sini. Dan keluargamu… yah, kau tahu sendiri, mereka bisa mengalami ‘kesialan’ yang tak terduga.”
Darah Rifki mendidih. Ia sadar betul bahwa orang-orang seperti Hendra tidak akan ragu melakukan apa pun demi kepentingannya. Namun, menyerah bukanlah pilihan.
“Aku tidak akan menjual kehormatanku,” kata Rifki dengan suara mantap.
Hendra menghela napas panjang. “Sayang sekali.”
Ia bangkit dan memberi isyarat pada petugas. “Pastikan dia merenungkan keputusannya baik-baik.”
Saat Hendra pergi, Rifki tahu bahwa tekanan terhadapnya akan semakin besar.
Di desa, Rina berjalan mondar-mandir dengan cemas di halaman rumahnya. Sejak Rifki dibawa, ia tidak bisa tidur nyenyak.
Pak Dahlan menghampirinya. “Rina, kau harus tetap tenang. Aku yakin Rifki akan bertahan.”
“Tapi mereka bisa melakukan apa saja padanya, Pak,” suara Rina bergetar.
Hasan tiba-tiba datang dengan napas tersengal. “Aku baru dapat kabar. Mereka sedang merencanakan penggusuran besar-besaran besok pagi.”
Pak Umar menatapnya tajam. “Apa? Secepat itu?”
Hasan mengangguk. “Aku dengar mereka akan membawa lebih banyak alat berat. Kali ini mereka tidak akan hanya mengancam, tapi langsung meratakan semua yang tersisa.”
Suasana mendadak tegang. Jika itu benar, maka besok bisa menjadi hari yang menentukan bagi desa mereka.
Pak Dahlan mengepalkan tangan. “Kita tidak bisa membiarkan ini terjadi. Kita harus melakukan sesuatu.”
Malam itu, warga desa berkumpul di mushala yang kini menjadi pusat perlawanan mereka. Beberapa pemuda berjaga di titik-titik strategis untuk mengawasi pergerakan orang-orang suruhan perusahaan.
Pak Umar berdiri di tengah lingkaran warga. “Besok adalah hari yang berat. Tapi kita tidak boleh menyerah. Jika mereka datang dengan alat berat, kita harus menghadang mereka dengan tubuh kita sendiri.”
Beberapa warga tampak ragu. “Tapi Pak, mereka bisa membawa polisi dan tentara. Kita tidak punya kekuatan untuk melawan mereka,” kata salah satu pria tua.
Pak Dahlan maju selangkah. “Kita tidak akan melawan dengan kekerasan. Kita akan duduk di depan alat berat mereka. Jika mereka tetap memaksa, maka mereka akan menunjukkan pada dunia betapa biadabnya mereka.”
Hasan mengangguk. “Kita juga harus memastikan bahwa semua ini terekam. Aku sudah menyiapkan kamera untuk merekam setiap kejadian besok.”
Rina menggigit bibirnya. “Dan bagaimana dengan Rifki? Kita tidak bisa membiarkannya di dalam sana.”
Pak Umar terdiam sejenak. “Aku akan mencoba bicara dengan beberapa orang yang mungkin bisa membantu. Kita harus tetap berharap.”
Suasana malam itu dipenuhi ketegangan. Tapi satu hal yang pasti: mereka tidak akan menyerah begitu saja.
Di dalam selnya, Rifki menatap langit-langit yang suram. Ia mendengar percakapan samar di luar pintu.
Lalu, suara langkah kaki mendekat.
Pintu sel terbuka, dan seorang pria tak dikenal berdiri di ambangnya.
“Kita harus segera pergi,” bisik pria itu.
Rifki menatapnya bingung. “Siapa kau?”
Pria itu hanya tersenyum tipis. “Seorang teman. Tidak ada waktu untuk bertanya. Jika kau ingin selamat, ikut aku sekarang.”
Rifki tahu bahwa ini adalah kesempatan yang mungkin tidak akan datang lagi. Tanpa ragu, ia berdiri dan mengikuti pria itu ke dalam kegelapan.
Di luar sana, desa pesisir bersiap menghadapi pagi yang akan menentukan nasib mereka.
Bara perlawanan belum padam.
Dan pertarungan mereka baru saja memasuki babak yang lebih keras.
(Bersambung ke seri 11: Matahari di Ujung Fajar)