JAKARTAMU.COM | Istana Topkapi, 1454. Setelah sujud syukur atas robohnya dinding Konstantinopel dan dikumandangkannya adzan di dalam Hagia Sophia, Sultan Muhammad bin Murad yang terkenal dengan Al-Fatih, tak larut dalam euforia. Ia justru menengok ke arah laut. Di matanya, kemenangan belum sempurna sebelum samudera tunduk.
Maka, hanya berselang beberapa musim pasca-penaklukan, Sultan Muhammad Al-Fatih segera memulai reformasi besar-besaran di bidang militer laut. Sumber-sumber Utsmani seperti Haqaiqul Akhbar ‘an Duwalil Bihar karya Ismail Sarhanak bahkan menyebut sang Sultan sebagai “Bapak Armada Laut Utsmani”—gelar yang tak didapat melalui seremoni, tetapi melalui dedikasi dan inovasi teknologi militer maritim.
Prof. Dr. Ali Muhammad Ash-Shalabi mencatat, dalam buku Bangkit dan Runtuhnya Khilafah Utsmaniyah bahwa Al-Fatih dikenal sebagai sultan yang rakus ilmu. Ia mempelajari strategi militer dari timur dan barat, termasuk teknik pembuatan kapal dari kekuatan bahari paling maju saat itu: Genoa dan Venezia.
Ketika sebuah kapal asing besar berlabuh di Saub, Sultan tidak hanya mengamatinya, tetapi memerintah agar kapal itu dibongkar dan ditiru dengan modifikasi canggih. Armada laut Utsmani pun mulai dilengkapi dengan kapal-kapal besar berteknologi tinggi, menjadikannya penguasa baru Laut Merah dan Laut Hitam.
Galangan kapal dibangun secara masif. Di dalamnya terdapat pasukan khusus laut bernama Thaafatul ‘Uzb, terdiri dari 3.000 marinir profesional dengan struktur organisasi militer modern: dari nakhoda, pengawas kapal, hingga pelaut-pelaut terlatih.
Revolusi Tentara dan Industri Militer
Namun kekuatan Al-Fatih bukan hanya di laut. Di darat, ia menciptakan sistem militer berlapis yang belum pernah diterapkan di dunia Islam sebelumnya. Ia menyempurnakan formasi Inkisyariyah (Janissary), pasukan elit yang hanya menjawab langsung kepada Sultan. Di tiap unit, komando dipimpin seorang Agha yang dilatih bukan hanya dalam strategi tempur, tapi juga dalam etika, disiplin, dan taktik modern.
Tak cukup membangun pasukan, Al-Fatih membangun ekosistem pendukungnya. Ia mendirikan industri militer sendiri: mulai dari pabrik pelana, gudang logistik, bengkel senjata, hingga benteng strategis. Ia tahu, kemenangan bukan hanya ditentukan oleh jumlah pasukan, tapi oleh pasokan makanan, bahan bakar, bahkan pakan kuda.r
Jika pada abad ke-15 banyak pasukan dunia masih mengandalkan tenaga brute force, pasukan Utsmani sudah membawa tenaga teknis dan ilmiah ke garis depan. Unit Alghamajiah bertugas menggali parit dan menanam ranjau bawah tanah saat pengepungan.
Pasukan air menyuplai kebutuhan logistik cair. Di belakangnya berdiri akademi militer Utsmani yang mencetak bukan hanya prajurit, tapi juga insinyur, ahli hewan, dokter militer, dan pakar ilmu falak. Semua diterjunkan dalam ekspedisi.
Inilah yang membuat pasukan Sultan Al-Fatih menjadi pasukan pertama dalam sejarah Islam yang memadukan kekuatan fisik, kecanggihan teknologi, dan ilmu pengetahuan secara sistematis.
Strategi Dua Arah: Darat dan Laut
Pengepungan Konstantinopel tahun 1453 adalah bukti paling sahih kecerdasan Al-Fatih dalam mengorkestrasi perang dua medan. Saat pasukan darat menggempur tembok Theodosius dari barat dan selatan, armada laut Utsmani mengepung sisi utara melalui Tanduk Emas. Bahkan saat rantai besi menutup pelabuhan, Sultan memerintahkan kapal-kapalnya diangkat ke bukit dan “dilayarkan” di atas daratan dengan bantuan log kayu dan tenaga manusia.
Laut pun tunduk. Daratan pun roboh.
Setelah Konstantinopel menjadi Istanbul, Sultan Muhammad Al-Fatih tidak berhenti. Ia membentuk ulang struktur militer Utsmani menjadi kekuatan global. Dalam dua dekade berikutnya, 7 kerajaan kecil ditaklukkan, dan lebih dari 100 kota baru berada di bawah panji Utsmani. Jalur laut dan pelabuhan dijadikan basis kekuasaan, bukan sekadar perlintasan dagang.
Dengan demikian, Utsmani di bawah Al-Fatih tak hanya menjadi kekuatan besar di darat. Tapi juga menjadi negara maritim adidaya yang mampu menyaingi kekuatan Eropa: Portugal, Spanyol, dan Venice.
Muhammad Al-Fatih adalah contoh langka dalam sejarah Islam—pemimpin yang menyeimbangkan pedang dengan pena, darat dengan laut, pasukan dengan logistik, kemenangan militer dengan kemakmuran rakyat.
Ia tidak hanya mewarisi kerajaan, tapi membangunnya ulang menjadi mesin strategis yang canggih.
Ketika banyak pemimpin hanya puas dengan kemenangan politik, Al-Fatih justru meletakkan fondasi bagi sebuah kekuasaan maritim dan ilmiah. Sejarah mencatatnya sebagai penakluk kota. Tapi laut, sungai, bahkan gunung-gunung Anatolia tahu: dialah penguasa yang membuat angin berbisik dalam bahasa Utsmani. (*)