JAKARTAMU.COM | Di tengah gemuruh meriam yang meruntuhkan Konstantinopel, Sultan Muhammad Al-Fatih membangun kejayaan lain yang lebih senyap: puisi, kitab, dan perpustakaan.
Pada suatu pagi di abad ke-15, halaman Istana Topkapi dipenuhi lantunan bait-bait syair. Bukan lantaran pesta atau euforia kemenangan, tapi karena penguasa termasyhur Utsmani kala itu—Sultan Muhammad bin Murad, atau lebih dikenal dengan Al-Fatih—mengundang 30 penyair terbaiknya untuk bersyair di hadapannya. Masing-masing mereka bukan hanya diganjar kehormatan, tapi juga gaji tetap: seribu dirham per bulan. Bukan dinar. Bukan penghormatan kosong. Tapi pengakuan nyata bahwa seni adalah senjata kedua, setelah pedang.
Sementara sejarah kerap mencatatnya sebagai penakluk Konstantinopel, sebagian besar sejarawan sastra Utsmani justru mengaguminya sebagai seorang pemimpin pecinta syair, pelindung seni, dan pemakmur ilmu pengetahuan. Dalam daftar panjang para penakluk besar dunia, hanya sedikit yang menyandingkan kejayaan militer dengan kebangkitan intelektual—dan Al-Fatih adalah salah satunya.
Prof. Dr. Ali Muhammad Ash-Shalabi mencatat, dalam buku Bangkit dan Runtuhnya Khilafah Utsmaniyah, bahwa Sultan Al-Fatih bukan hanya menaruh perhatian besar pada syair, tetapi juga menyeleksi sendiri siapa yang layak disebut penyair istana. Nama-nama seperti Ahmad Pasya Mahmud, Mahmud Pasya, dan Qasim Al-Laziri Pasya bukan sekadar penghibur istana. Mereka adalah suara zamannya. Bagi Al-Fatih, kekuatan estetika kata setara dengan kekuatan tombak di medan perang.
Maka tidak heran jika sang Sultan dijuluki Abu al-Fath—ayah segala kemenangan, karena menaklukkan dua imperium besar: Romawi Timur dan berbagai kerajaan kecil di Anatolia dan Balkan. Tapi ia juga digelari Abu al-Khairat—ayah dari berbagai kebajikan, karena memakmurkan masjid, madrasah, hingga sastra.
Namun perhatian Sultan bukan tanpa batas. Sastra hedonis dan tidak etis dikecam habis. Penyair yang menyeberang batas moral tidak dihargai, bahkan dipenjara. Di istana Al-Fatih, puisi bukan tempat melarikan diri, melainkan medan jihad intelektual.
Gerakan Terjemahan dan Peta Dunia
Kecintaan Al-Fatih pada ilmu melampaui syair. Ia mendorong gerakan besar penerjemahan karya-karya kuno dari Yunani, Latin, Persia, dan Arab ke dalam bahasa Turki Utsmani. Ketika menemukan naskah geografi karya Claudius Ptolemy, Sultan tak hanya membacanya. Ia memanggil dua ilmuwan Romawi untuk menerjemahkannya ke dalam bahasa Arab dan menggambar ulang petanya. Dua penerjemah itu bukan hanya dibayar mahal, tapi juga diberi hadiah tambahan, sebagai bentuk hormat pada ilmu.
Demikian pula dengan buku Al-Tashrif fit Thibbi karya Abul Qasim Al-Zahrawi, sang dokter legendaris Andalusia. Bukan sekadar diterjemahkan, tetapi juga dilengkapi gambar-gambar peralatan bedah. Hasilnya menjadi dasar ilmu kedokteran yang disebarluaskan ke madrasah-madrasah medis Utsmani.
Meski berbicara dalam bahasa Turki, Sultan menjadikan bahasa Arab sebagai poros utama pendidikan. Ia meminta para pengajar memiliki minimal enam kamus utama Arab. Al-Qamus, As-Shihah, dan At-Takmilah menjadi syarat bagi para muallim. Bahasa Arab baginya bukan sekadar alat komunikasi—melainkan jembatan ke langit, ke Al-Qur’an, dan ke ilmu-ilmu yang dibangun dunia Islam selama berabad-abad.
Salah satu pencapaian monumental Sultan adalah pembangunan perpustakaan di dalam istana. Dikelola oleh Syaikh Lutfi, koleksi perpustakaan ini mencapai 12.000 buku. Tapi seperti nasib ilmu pengetahuan di banyak tempat lain, api datang lebih cepat dari penghormatan: pada tahun 1465, perpustakaan itu terbakar. Meski begitu, para sejarawan seperti Profesor Dizman menyebut, perpustakaan Al-Fatih adalah titik temu pengetahuan antara Timur dan Barat.
Pemimpin dengan Pena di Tangan
Ketika banyak penguasa menandai kekuasaannya lewat katedral dan benteng, Al-Fatih membangun madrasah dan ruang baca. Ketika banyak sultan berlomba mengoleksi emas dan permata, Al-Fatih mengoleksi manuskrip dan peta kuno. Ketika banyak raja mengukir nama lewat perang, ia menulis puisi dan mendanai penerjemah.
Kemenangan militer bisa ditulis dalam seabad, tetapi kebangkitan intelektual memerlukan generasi. Dan Al-Fatih memahami itu. Ia membangun bukan hanya kekaisaran yang luas, tapi juga ekosistem yang mempertemukan keindahan dan pengetahuan.
Banyak yang mengenang Al-Fatih karena Hagia Sophia, atau karena strategi tempur menaklukkan benteng Byzantium. Tapi sedikit yang mengingat ia juga penyair. Bahwa di balik senyap bait-bait puisinya, ia sedang merancang masa depan bangsanya. Di balik peta dunia yang dibentangkan di mejanya, ia sedang menjajaki peta peradaban baru.
Ia membuktikan bahwa seorang pemimpin bukan hanya harus berpikir bagaimana memenangkan perang, tetapi juga bagaimana menghidupkan kata. (*)