Sabtu, Juni 21, 2025
No menu items!

Mengobati Jiwa yang Sakit, Menenangkan Hati yang Gelisah

Must Read
Miftah H. Yusufpati
Miftah H. Yusufpati
Sebelumnya sebagai Redaktur Pelaksana SINDOWeekly (2010-2019). Mulai meniti karir di dunia jurnalistik sejak 1987 di Harian Ekonomi Neraca (1987-1998). Pernah menjabat sebagai Pemimpin Redaksi Majalah DewanRakyat (2004), Wakil Pemimpin Harian ProAksi (2005), Pemimpin Redaksi LiraNews (2018-2024). Kini selain di Jakartamu.com sebagai Pemimpin Umum Forum News Network, fnn.co.Id. dan Wakil Pemimpin Redaksi Majalah FORUM KEADILAN.

JAKARTAMU.COM | Seorang lelaki datang kepada Rasulullah ﷺ membawa keluhan sederhana namun membingungkan:
“Saudaraku sakit perut. Sudah diberi obat, tapi tak juga sembuh.”

Alih-alih memberi resep baru atau menanyakan riwayat penyakitnya, Rasulullah ﷺ memberikan jawaban yang mencengangkan, seperti yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari: “Perut saudaramu berbohong.”

Kalimat ini sekilas terdengar ganjil—bahkan jenaka—namun dalam tradisi hikmah, ia menyimpan kedalaman tafsir yang menakjubkan. Rasulullah ﷺ seolah ingin mengatakan bahwa keluhan fisik tak selalu berasal dari fisik. Bahwa apa yang tampak sebagai sakit badan, bisa jadi bersumber dari jiwa yang lelah. Dari hati yang luka. Dari batin yang resah.

Dalam karyanya Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat, Prof. Dr. M. Quraish Shihab mengajak pembaca menelusuri dimensi kesehatan yang sering terabaikan: kesehatan jiwa, qalbu, dan akal. Sebuah wilayah yang tak tersentuh jarum suntik, tak terukur oleh termometer, dan tak bisa ditambal dengan antibiotik, tetapi justru menjadi pusat perhatian Al-Qur’an.

Al-Qur’an, sebagai petunjuk hidup, tidak hanya menyebut penyakit dalam arti medis. Ia juga menyinggung penyakit dalam makna batiniah. Frasa yang berulang dalam banyak ayat adalah “fi qulubihim maradh”dalam hati mereka ada penyakit. Ungkapan ini muncul setidaknya sebelas kali, menggambarkan bahwa penyakit jiwa adalah realitas yang sama seriusnya dengan penyakit raga.

Pakar bahasa klasik, Ibnu Faris, mengartikan “penyakit” sebagai segala bentuk ketidakseimbangan—baik berupa kelebihan maupun kekurangan—yang membuat manusia melampaui batas kewajaran. Maka, penyakit hati karena kelebihan bisa berupa kesombongan, dendam, fanatisme buta, dan kerakusan. Sebaliknya, penyakit karena kekurangan bisa berupa rasa takut yang berlebihan, rendah diri, kecemasan berlebih, hingga rasa putus asa menghadapi hidup.

Yang lebih menarik, Al-Qur’an juga memberi perhatian pada penyakit akal. Kebodohan atau ketidaktahuan dalam Islam bukan semata ketiadaan ilmu, tetapi bisa berwujud kebingungan yang menyesatkan. Yakni ketika seseorang tidak tahu bahwa ia tidak tahu. Inilah akar dari keraguan, ilusi, dan kebimbangan yang bisa membutakan jalan hidup seseorang sebelum ia menyadarinya.

Lalu bagaimana dengan asal-usul luka batin?

Rasulullah ﷺ memberikan isyarat dalam banyak sabdanya bahwa akar kejiwaan seseorang bisa terbentuk bahkan sejak dalam buaian. Dalam satu hadis, Nabi menegur seorang ibu yang marah saat bayinya membasahi bajunya dengan air kencing. Ibu itu menarik anaknya dengan kasar.

Rasul berkata: “Jangan hentikan pipisnya, jangan renggut dia dengan kasar. Pakaian ini bisa dicuci dengan air. Tapi hati anak ini, apa yang bisa menjernihkannya?

Dalam satu kalimat pendek itu, Rasul mendahului teori-teori psikologi modern. Bahwa kekerasan emosi, meski sekilas ringan, bisa tertanam menjadi luka batin jangka panjang. Bahwa tindakan kecil bisa menggores lembut tetapi dalam, hingga membekas menjadi trauma di kemudian hari.

Kesehatan jiwa dalam perspektif Islam bukan sekadar stabilitas mental, melainkan tentang keutuhan arah hidup. Tentang keterikatan hati kepada Allah. Maka, ukuran keberuntungan di akhirat bukan terletak pada fisik atau harta, melainkan pada satu hal:

“…kecuali orang yang datang kepada Allah dengan hati yang sehat.” (QS Al-Syu’ara: 88–89)

Apa itu “hati yang sehat”? Menurut ulama sufi seperti Imam Al-Ghazali, ia adalah hati yang bersih dari kebencian, hasad, dan kesyirikan, serta dipenuhi keikhlasan dan cinta kepada Allah. Hati seperti itu akan membuat tubuh pun menjadi tenteram. Sebab, sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ:

“Ingatlah, dalam tubuh manusia ada segumpal daging. Jika ia baik, maka seluruh tubuh baik. Jika ia rusak, maka seluruh tubuh rusak. Ketahuilah, ia adalah hati.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Kini, di tengah masyarakat modern yang makin dilanda kegelisahan, kecemasan, dan depresi massal, ayat-ayat Al-Qur’an tentang ketenteraman hati menjadi relevan seperti cahaya dalam kabut:

“Alaa bi dzikrillahi tathma’innul quluub.” (Hanya dengan mengingat Allah, hati menjadi tenteram.)” (QS Al-Ra’d: 28)

Ketenangan hati, dalam pandangan Islam, tidak bisa dibeli—namun bisa diperoleh melalui zikir, kesabaran, taubat, dan relasi ruhani yang tulus. Islam tidak menolak ilmu medis, tapi menyempurnakannya dengan makna dan ruh. Dokter bisa mengobati, tapi hanya Allah yang menyembuhkan.

Maka, Islam mendorong penguatan spiritual sejak dini. Pendidikan akhlak sejak anak-anak. Lingkungan rumah yang penuh kasih. Karena luka batin bukan hanya dari trauma besar, tapi dari ketiadaan cinta, doa, dan pelukan.

Ketika semua ini digabung, kita bisa memahami mengapa Nabi ﷺ berkata: “Perut saudaramu berbohong.”

Barangkali, yang sakit bukan lambungnya. Tapi jiwanya.

Dan barangkali, obatnya bukan kapsul atau suntikan. Tapi air mata di sepertiga malam. Doa yang lirih. Dan hati yang kembali mengingat Tuhan.

Kisah Tragis Abu Dzar: Zaman Ketika Kritik Dibuang ke Padang Pasir

JAKARTAMU.COM | Pengasingan Abu Dzar Al-Ghifari ke Rabzah bukan sekadar kisah klasik perseteruan politik dan moralitas. Ia adalah pertarungan...
spot_img
spot_img

More Articles Like This