Rabu, Juni 18, 2025
No menu items!

Sejarah Kota Tua Istakhr: Di Tanah Para Dewa, Khalifah Menanam Tanda Zaman Baru

Must Read

JAKARTAMU.COM | Di balik reruntuhan Persepolis, kota tua Istakhr berdiri seperti jimat masa lalu yang tak kunjung padam. Di sinilah, sekitar tahun ke-20 Hijriah, denyut terakhir kejayaan Zoroaster dan Sasanid berpacu melawan waktu. Pasukan Muslimin datang bukan hanya dengan pedang dan panji, tapi juga dengan mandat sejarah.

Usman bin Abil-As as-Saqafi, panglima dari Bahrain, menyeberangi Teluk Persia dengan kapal, lalu menyusup ke jantung Persia melalui pulau Aizakawan. Dari titik itu, gerak cepat dimulai. Tawwaj, kota pertahanan kuat, direbut dalam pertempuran berdarah. Selanjutnya, Shapur dan Ardasyir menyusul, sampai akhirnya ia berdiri di ambang Istakhr, ibu kota spiritual dan simbol terakhir dari dinasti Sasani yang sedang sekarat.

Istakhr bukan sekadar kota. Ia adalah mihrab bagi kaum Majusi. Kuil api Anahita masih menyala dan arwah raja-raja kuno seperti Ardasyir I seolah menggantung di langit-langit batu. Tapi waktu tak bisa ditahan. Ketika pengepungan kian ketat, pasukan Harbaz, komandan Persia, mulai lunglai. Satu demi satu pintu kota menyerah.

Muhammad Husain Haekal, dalam Al-Faruq Umar, mencatat betapa tak ada jalan lain bagi Harbaz selain menyerah. Tapi kepasrahan itu tak berlangsung lama. Istakhr menggeliat, memberontak, dan memanggil-manggil bayangan masa lalu untuk bangkit. Mereka menghubungi Syahrak, penguasa Kirman yang menyimpan bara perlawanan.

Usaha itu sia-sia. Dalam pertempuran panjang dan brutal di Tawwaj, Syahrak terbunuh. Harapan Persia pun runtuh bersama benteng terakhir mereka. Seperti serpihan dari api suci yang padam ditiup angin sejarah.

Persia Retak dari Dalam

Jika perang fisik telah dimenangkan, perang moral justru lebih menarik. Yang membuat Istakhr sulit jatuh bukanlah bentengnya, tapi ingatan kolektif bangsanya. Di sanalah kuil api, di sanalah para raja dimakamkan. Maka ketika kota itu jatuh, sesungguhnya yang hancur adalah kosmologi Persia tentang kekuasaan dan sakralitas. Ini bukan sekadar jatuhnya kota, melainkan ambruknya satu peradaban.

Perlawanan sporadis muncul, tapi tanpa pemersatu. Fragmentasi Persia setelah tewasnya Syahrak menunjukkan bahwa Sasani telah habis bukan karena kekalahan militer, tetapi karena kerapuhan dari dalam. Tanpa ideologi baru yang hidup, mereka hanya mengandalkan nostalgia.

Islam dan Politik Damai

Menariknya, setelah penaklukan itu, Usman bin Abil-As tidak mengobarkan balas dendam. Ia menawarkan perlindungan atas dasar jizyah dan kharaj. Penduduk yang lari diminta kembali. Bahkan Harbaz sendiri tunduk, dan dibebaskan. Ini pola baru dalam politik ekspansi: penaklukan bukan akhir, tapi permulaan dari integrasi sosial.

Tak hanya itu, ketika sebagian pasukan mengambil rampasan perang tanpa izin, Usman berpidato: “Yang pertama kalian akan kehilangan dari agama kalian ialah amanat.” Kata-kata ini bergema hingga ke Madinah. Umar bin Khattab, sang Khalifah, mengangkat Usman menjadi Gubernur Bahrain. Bukan semata karena keberanian perang, tapi karena integritasnya dalam mengelola kemenangan.

Satu Kota, Dua Makam, Tiga Zaman

Letak Istakhr yang bersisian dengan Persepolis membuatnya menjadi simpul dari tiga zaman: Achaemenid, Sasani, dan Islam. Di satu sisi ada batu-batu kubur Raja Darius dan Xerxes, di sisi lain makam raja-raja Sasani, dan tak lama kemudian, masjid besar berdiri di bekas kuil api, tiangnya diukir dengan kepala sapi. Ini adalah simbol peralihan kekuasaan yang tak pernah sepi.

Transisi ini tak sekadar geopolitik, tapi geokultural. Dari penyembahan api ke monoteisme, dari istana ke mihrab, dari kultus raja ke keadilan khalifah.

Istakhr pada akhirnya jatuh. Tapi ia tidak roboh karena lemahnya batu, melainkan karena sejarah telah menulis takdirnya. Seperti api yang redup di tengah angin gurun, kota ini perlahan masuk ke buku sejarah, memberi pelajaran bahwa setiap imperium, betapa pun agungnya, akan diuji bukan hanya oleh musuh dari luar, tapi oleh ketangguhannya menjaga amanat di dalam. (*)

Ketika Humor Jadi Obat: Abu Nawas Menyembuhkan Raja dengan Kentut

JAKARTAMU.COM | Baginda Raja sedang murung. Konon katanya, perut beliau sering berbunyi seperti genderang perang. Tabib istana menyebutnya: "masuk...
spot_img
spot_img

More Articles Like This