Senin, Juli 14, 2025
No menu items!

Kisah Tragis Abu Dzar: Zaman Ketika Kritik Dibuang ke Padang Pasir

Must Read

JAKARTAMU.COM | Pengasingan Abu Dzar Al-Ghifari ke Rabzah bukan sekadar kisah klasik perseteruan politik dan moralitas. Ia adalah pertarungan sunyi antara kekuasaan dan suara kebenaran yang tak pernah berhenti menggema.

Hari itu, suara takbir menggema bukan dari medan jihad, melainkan dari seorang lelaki tua yang diasingkan karena terlalu jujur. Abu Dzar Al-Ghifari, sahabat Nabi yang terkenal zuhud dan lantang mengkritik ketidakadilan penguasa, menaiki untanya meninggalkan Madinah menuju Rabzah, sebuah padang sunyi yang bahkan tak menyambutnya dengan pohon pelindung.

“Di mana aku akan mati dan akan dikubur oleh sekelompok orang Irak yang menuju Hijaz,” begitu sabda Nabi Muhammad SAW kepada Abu Dzar bertahun-tahun sebelumnya. Sabda yang kini perlahan menjadi nyata. Kebenaran yang pernah dibisikkan kenabian, kini menjelma kenyataan getir: Abu Dzar memang akan wafat dalam keterasingan.

Pengasingan atas Nama Kekuasaan

Khalifah Utsman bin Affan, menantu Rasul dan sahabat terdekat, memutuskan mengasingkan Abu Dzar. Bukan karena kekufuran atau makar. Tapi karena Abu Dzar tak henti-hentinya mengkritik kebijakan ekonomi pemerintahan, pembagian ghanimah yang timpang, gaya hidup mewah para elit Muslim, dan terutama Muawiyah bin Abu Sufyan, Gubernur Syam.

Dalam pandangan Abu Dzar, kekuasaan yang tak tunduk pada prinsip keadilan adalah kezhaliman. “Barang siapa menimbun harta emas dan perak, lalu tidak menginfakkannya di jalan Allah, maka sampaikanlah kepadanya kabar siksa yang pedih,” kata Abu Dzar, mengutip ayat Al-Qur’an, langsung di depan istana kekuasaan.

Muawiyah yang gerah, melaporkannya ke pusat. Khalifah Utsman pun mengirim utusan memulangkan Abu Dzar ke Madinah, bukan untuk menenangkan, melainkan untuk menyingkirkannya secara permanen. Tak ada lagi tempat untuk kritik dalam ruang kuasa. Maka Rabzah, padang sunyi yang dulu disebut Nabi, kini menjadi alamat pengasingan.

Duka yang Ditutupi Kemuliaan

Detik-detik keberangkatan Abu Dzar dari Madinah menyimpan drama yang menyayat. Ali bin Abu Thalib dan putra-putranya, Hasan dan Husein, bersama beberapa sahabat lainnya seperti Miqdad dan Abdullah bin Abbas datang tergesa. Mereka tahu, ini bukan sekadar perpisahan. Ini pemutusan total hubungan, karena Utsman melarang siapa pun menjenguk atau berinteraksi lagi dengan Abu Dzar.

Ali berkata, “Orang-orang takut padamu karena keserakahan mereka terhadap dunia, tapi engkau tak pernah takut kepada mereka karena imanmu.”

Kalimat itu bukan sekadar penghiburan. Ia adalah pengakuan jujur bahwa dalam tubuh kekuasaan Muslim saat itu, Abu Dzar telah menjadi simbol ketidaktertundukan. Kritiknya menjadi duri bagi status quo. Bahkan dalam kepergiannya, ia tetap menampakkan api kecil dari semangat kenabian yang belum padam.

Rabzah: Dari Tanah Terbuang ke Tanah Penuh Makna

Jangan bayangkan Rabzah seperti dusun terpencil hari ini. Pada masa itu, Rabzah adalah padang sunyi sejauh mata memandang. Tak ada pemukiman. Tak ada kebun kurma. Hanya hembusan angin dan debu. Di sanalah Abu Dzar menetap bersama istri dan anak-anaknya yang menyusul kemudian, setelah dikirim paksa oleh Muawiyah.

Muawiyah bahkan meledek kesederhanaan Abu Dzar. “Lihatlah barang-barang milik pengkhotbah tentang penghematan,” katanya saat istri Abu Dzar pergi hanya membawa satu kantong kecil.

“Ini hanya beberapa koin, bukan dinar,” jawab istrinya tenang.

Bertahun-tahun di Rabzah, Abu Dzar hidup dengan kesunyian dan keyakinan. Ia tak menyerah. Ia tak mengeluh. Ia menyambut penderitaan sebagaimana ia menyambut wahyu: dengan pasrah dan bahagia.

Namun pada akhirnya, umur dan sunyi menjemputnya. Ia wafat di bawah sebuah pohon, disaksikan istri dan satu dua musafir yang lewat. Sebagaimana sabda Nabi: “Engkau akan wafat sendiri, dikuburkan oleh sekelompok orang Irak yang tengah menuju Hijaz.”

Kritik yang Terlalu Awal

Dalam sejarah kekhalifahan, nama Abu Dzar berdiri tegak sebagai kritik moral terhadap kekuasaan. Ia bukan hanya sahabat Nabi, tapi juga saksi hidup bagaimana Islam yang egaliter berubah menjadi sistem yang perlahan meniru aristokrasi lama.

Abu Dzar menolak kekayaan berlebihan, mengecam penimbunan harta, dan menolak jabatan karena menganggapnya amanah berat. Ia menyuarakan semangat awal Islam yang berpihak pada kaum dhuafa, bukan elit yang mengakumulasi kekuasaan.

Dalam banyak hal, Abu Dzar mungkin terlalu jujur untuk zaman yang tengah menapaki duniawi. Kritiknya dianggap naif oleh para penguasa. Tapi dalam sejarah moral Islam, ia tetap menjadi pelita.

Kisah Abu Dzar bukan hanya nostalgia sejarah. Ia adalah peringatan. Bahwa suara kebenaran bisa dikucilkan, tapi tak pernah bisa dibungkam. Bahwa kritik moral atas kekuasaan yang rakus akan selalu menemukan jalannya, meski harus melewati padang sunyi Rabzah zaman ini.

Pertanyaannya kini: Siapa yang berani menjadi Abu Dzar di tengah kemewahan, kekuasaan, dan kompromi hari ini?

Dua Luka dalam Satu Atap (13): Saat Rumah Tak Lagi Pulang

ADA pagi yang tak menyambut dengan cahaya, hanya dingin yang menggulung dari sela-sela jendela. Seperti pagi itu. Matahari seolah...

More Articles Like This