Jumat, Juli 4, 2025
No menu items!

500 Jam Terbuang Akibat Jalanan Macet Jakarta

Must Read

JAM menunjukkan pukul 04.45, tapi deru motor dan mobil yang terburu-buru sudah terdengar di jalanan pinggiran Jakarta. Banyak pekerja memulai hari jauh sebelum matahari terbit bukan untuk berolahraga atau beribadah. Mereka berkejaran dengan waktu demi satu hal yang makin sulit diprediksi yaitu tiba di kantor kawasan Sudirman tepat waktu.

Kalau jam tujuh pagi baru keluar rumah di Bekasi dengan tujuan Sudirman, waktu tempuh normal sekitar 45 menit. Itu pun kalau tidak ada truk mogok di jalan tol atau lampu lalu lintas yang mendadak mati. Pagi sudah terasa padat sebelum memulai pekerjaan.

Bagi sebagian besar warga yang tinggal di wilayah Jabodetabek, subuh adalah lonceng start perjuangan harian yang melelahkan. Jika telat keluar lima belas menit saja, waktu tempuh bisa-bisa melonjak dua kali lipat sebelum mereka sempat menyentuh setengah perjalanan.

Mereka harus berdamai dengan bus penuh sejak halte pertama, antrean kendaraan yang tak bergerak di tol dalam kota, dan waktu yang terus bergerak tanpa kompromi. Jangan heran kalau waktu menjadi sesuatu yang harus dikejar sejak dini hari, bahkan ketika tubuh belum sepenuhnya bangun.

Begitulah, warga Jakarta dan sekitarnya kehilangan ratusan jam tiap tahun hanya karena duduk diam di dalam mobil atau menunggu Transjakarta yang tak kunjung datang akibat kemacetan. Namun Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung Wibowo sedikit berbangga dengan mengatakan bahwa Jakarta tidak lagi berada di posisi teratas kota termacet di Indonesia.

”Sekarang nomor satu Bandung, nomor dua Medan, nomor tiga Palembang, nomor empat Surabaya, lima Jakarta,” ujarnya kepada wartawan, Kamis (3/7/ 2025).

Pernyataan Pramono itu merujuk Survei TomTom Traffic Index tahun 2025, yang mencatat perbaikan indeks kemacetan Jakarta. Sebagai informasi, laporan TomTom berbasis data GPS dari kendaraan yang beroperasi sehari-hari. Informasi itu dikumpulkan secara otomatis dari mobil pribadi, angkutan umum, dan armada logistik, lalu dibandingkan dengan kecepatan ideal di jalanan kosong.

Dari situ dihitung rata-rata waktu tempuh harian di tiap kota. Karena dikumpulkan terus-menerus sepanjang tahun, data ini mampu menggambarkan pola lalu lintas secara utuh. Informasi yang dipublish tahun ini merupakan kumpulan data selama 2024.

Pernyataan Pramono memang benar. Tetapi belum lengkap. Berdasarkan data TomTom, perbaikan peringkat itu faktanya tidak serta-merta memperbaiki waktu tempuh kendaraan di Jakarta.

Survei itu mencatat rata-rata waktu tempuh kendaraan di Jakarta mencapai 24 menit 38 detik per 10 kilometer. Angka ini naik 9 detik dibanding tahun sebelumnya, yang berada di 24 menit 29 detik.. Faktanya waktu tempuh orang berkendara di Jakarta justru meningkat dibanding tahun lalu. Artinya, beban lalu lintas tetap berat meskipun kota-kota lain mengalami kepadatan yang lebih parah.

Jika dikalikan dengan jarak tempuh harian seorang pekerja yang pulang-pergi sejauh 15 kilometer, maka dalam satu hari kerja, waktu di jalan bisa memakan lebih dari dua jam. Dalam satu tahun, totalnya bisa mencapai 500 jam atau setara tiga bulan kerja.

Moda Transportasi Umum Belum Menarik?

Fenomena kemacetan di Jakarta sudah barang tentu karena jumlah kendaraan pribadi yang tidak terkontrol. Pembangunan infrastruktur transportasi yang terus berlanjut tidak siginifikan mengurangi penggunaan kendaraan pribadi. Sebagian warga memilih motor atau mobil karena merasa lebih praktis dan cepat dibanding transportasi umum yang kadang memerlukan dua hingga tiga moda untuk mencapai tujuan. Halte yang terlalu jauh dari permukiman dan waktu tunggu yang tak menentu membuat angkutan massal belum cukup menarik bagi banyak orang.

Kebijakan pembatasan kendaraan seperti ganjil-genap memang terus diperluas, tetapi responsnya sering berujung pada pembelian kendaraan tambahan. Tarif parkir di pusat kota belum cukup mempengaruhi perilaku. Sementara itu, anggaran untuk subsidi transportasi publik kerap dipandang sebagai beban rutin, bukan bagian dari strategi jangka panjang untuk mengatur pola mobilitas warga kota.

Waktu yang hilang di jalan berdampak pada lebih dari berkurangnya produktivitas kerja. Sudah pasti waktu istirahat berkurang, waktu bersama keluarga tergeser, dan tingkat stres naik. Setelah berjam-jam terjebak di jalan, tidak banyak energi tersisa untuk hal-hal lain. Keletihan ini bisa berlangsung setiap hari dan menumpuk dalam jangka panjang, memengaruhi kesehatan dan kualitas hidup. (*)

23 Tahun Lazismu: Sinergi Kebajikan yang Menyalakan Lentera Perubahan 

Fadhli Arsil | Pemimpin Umum Jakartamu.com LEMBAGA Amil Zakat Infak dan Sedekah Muhammadiyah (Lazismu) kini menapaki usia ke-23. Dalam lanskap pengabdian...

More Articles Like This