Jumat, Juli 4, 2025
No menu items!

Membebaskan Palestina lewat Amal Usaha Muhammadiyah

Must Read

Oleh Alvin Qodri Lazuardy | Pegiat Literasi

MALAM itu, SM Tower menjadi pilihan tempat untuk diskusi. Semula saya kira diskusi akan berjalan seperti biasa, tentang pengelolaan sekolah, service excellent, dan strategi kemajuan Amal Usaha Muhammadiyah.

Saya hadir sebagai bagian dari Majelis Tarjih dan Tajdid, memenuhi panggilan Ustaz Fathin Hammam, ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah Tegal. Tak ada ekspektasi berlebihan, kecuali menyimak, mencatat, dan membawa pulang satu dua hal baru untuk diterapkan. Namun siapa sangka, malam itu berubah menjadi titik balik dalam cara saya memahami arah perjuangan pendidikan Islam.

Pak Ghufron Mustaqim, tokoh IT yang dikenal dengan startup Evermos, dan kini menjadi bagian dari Serikat Usaha Muhammadiyah (Sumu), tampil bukan sebagai teknokrat biasa. Di saat hadirin menanti paparan teknis tentang bagaimana mengelola sekolah unggul dengan pelayanan prima, beliau justru membuka layar dengan slide Masjidil Aqsa. Potongan sejarah yang membuka pintu menuju visi yang lebih tinggi tentang barokah, peradaban, dan tanggung jawab kolektif umat Islam atas Palestina.

Saya sempat tercengang. Mengapa kita bicara Yerusalem (Al Quds) di forum pendidikan? Mengapa Mataram Islam disebut-sebut? Mengapa tiba-tiba Profesor Abdul Fattah Al-Awaisi muncul dalam kutipan? Namun seiring penjelasan Pak Ghufron yang terus mengalir, saya mulai melihat jalinannya.

Service excellent adalah kesadaran mendalam bahwa sekolah adalah medan jihad peradaban. Ia membangun argumen bahwa pendidikan Muhammadiyah, yang disebut-sebut sebagai organisasi Islam keempat terkaya di dunia, punya potensi luar biasa untuk membebaskan Palestina. Ya, membebaskan. Merancang, mendirikan, dan mengelola amal usaha di tanah yang sedang dijajah itu.

Sontak ruangan jadi senyap. Saya memperhatikan, di benak banyak guru dan kepala sekolah mungkin muncul pertanyaan, “Kita butuh panduan teknis, bukan mimpi besar.” Tapi saya justru mulai merasa inilah arah yang selama ini kita lupakan. Bahwa pendidikan tidak semestinya berhenti pada kompetisi antar sekolah, branding sosial media, atau piala lomba berbagai cabang keilmuan ataupun olah raga. Ada sesuatu yang lebih besar, lebih mendesak, dan lebih bermakna. Mendidik untuk peradaban. Mendidik untuk kemerdekaan. Mendidik untuk Palestina.

Pak Ghufron mengisahkan, pascagenosida 2023 di Gaza, ia mengubah arah hidupnya. Urusan bisnis ia delegasikan. Fokusnya kini satu: membebaskan Palestina. Tidak dengan senjata, tapi dengan amal usaha. Sekolah, rumah sakit dan AUM lainnya. Beliau memberi makna baru pada service excellent.

Pelayanan terbaik jangan hanya tertuju pada siswa dan orang tua siswa, tapi bagi umat ini secara keseluruhan. Visi peradaban kita upayakan tertanam dalam sistem pendidikan kita. Dan Palestina adalah simbol dari krisis peradaban itu. Maka ketika kita mendidik, kita tidak sedang memoles citra lembaga, tapi menyiapkan generasi yang kelak bisa berdiri di tanah suci itu sebagai pendidik, penggerak, dan penolong.

Sayangnya, sebagian kita masih terjebak dalam ego lembaga. Ingin unggul sendiri. Ingin maju sendiri. Ingin hebat sendiri. Akhirnya, yang lahir bukan kolaborasi, tapi kompetisi berbumbu friksi. Sekolah-sekolah yang secara struktural satu keluarga, secara kultural satu garis juang, justru saling terjebak dalam rutinitas berlomba menampilkan diri unjuk boleh kelebihan, paling keren, paling modern. Ini bukan lagi service excellent. Ini service egosentris.

Maka narasi Pak Ghufron perlu didengar ulang untuk direnungi. Apakah benar orientasi sekolah-sekolah kita hari ini masih berada di rel peradaban? Atau justru melaju kencang menuju jurang individualisme lembaga? Ia berpijak pada realitas kekuatan umat dan pengalaman sejarah. Tapi juga menatap jauh ke cakrawala masa depan umat Islam.

Barokah (baroknaa haulahu) di Palestina tak akan tergapai jika kita tak memerdekakannya. Dan, kemerdekaan Palestina seperti halnya Indonesia dulu, tidak lahir semata-mata dari senjata. Dia mewujud dari semangat kolektif membangun basis kekuatan pendidikan, ekonomi, dan kesehatan.

Saya menuliskan ini sebagai ajakan, agar kita para pendidik, kepala sekolah, aktivis Muhammadiyah, kembali menyatukan langkah. Kita tak sedang berlomba membuat brosur terbaik, SPMB terbanyak tapi sedang mempersiapkan generasi pembebas. Kita tak sedang mengincar rangking nilai atau viralitas TikTok sekolah, tapi sedang menanamkan semangat jihad peradaban. Jika Palestina adalah titik awal dan akhir perjuangan umat ini, maka sekolah kita adalah tempat memulainya.

Mari pikirkan kembali hal-hal yang sekiranya berpotensi memberikan gejala egosentris lembaga. Mari naikkan level orientasi kita. Jadikan setiap ruang kelas sebagai ruang pembebasan. Jadikan setiap apel pagi sebagai penguatan ruh jihad. Jadikan setiap silabus sebagai jalan menuju kemerdekaan Palestina. Visi ini besar, tapi bukan berarti tak mungkin. Kita hanya perlu mulai hari ini. (*)

(Alvin Qodri Lazuardy adalah pembina gerakan literasi Alfuwisdom yang juga bergerak di bidang penerbitan buku, Bookshop dan Pelatihan Literasi di Piyungan, Yogyakarta)

BP Haji Siap Emban Amanat Selenggarakan Ibadah Haji 2026

JEDDAH, JAKARTAMU.COM | Badan Penyelenggara Haji (BP Haji) Republik Indonesia menyatakan kesiapan penuh untuk menjalankan tanggung jawab penyelenggaraan ibadah...

More Articles Like This