HARI itu, langit tak sekadar mendung. Ia seolah enggan mengangkat wajahnya dari bumi. Awan kelabu menggantung seperti bayangan luka yang menggumpal di dadaku.
Aku memandangi jendela dengan tatapan kosong. Gerimis turun, pelan, seakan takut merusak kesepian. Tapi justru itulah yang paling menyesakkan: diam-diam, gerimis mampu mencuri kebahagiaan tanpa suara.
Di dapur, cangkir-cangkir kita berjejer rapi, tapi sudah lama tak digunakan berdua. Kau tak lagi duduk di seberang sambil membaca koran dan sesekali mengeluh tentang politik yang makin kotor. Tak ada lagi percakapan sambil menyesap teh manis. Yang tersisa hanya aku, menatap cangkir kosong yang lebih jujur daripada hubungan kita.
Hari ini aku mengambil keputusan kecil—aku butuh pergi sebentar. Keluar dari rumah ini. Menjauh dari dinding yang menjadi saksi bisu kelumpuhan cinta.
Aku memakai mantel, melilitkan syal abu-abu yang kau beri dua tahun lalu, saat aku sedang sakit dan kau masih peduli. Aku berjalan menyusuri gang kecil di dekat rumah, tempat kita dulu sering lewat saat baru menikah. Dulu kau menggenggam tanganku erat, seperti tak ingin melepaskan. Kini, bahkan namaku pun jarang kau sebut.
Aku menyusuri toko-toko kecil yang menjual bunga plastik dan pernak-pernik murah. Lalu berhenti di sebuah warung kopi tua, yang punya aroma kenangan lebih kental daripada aroma robusta. Di sana, seorang perempuan paruh baya duduk sendirian, membaca majalah lama.
Kami berbincang sejenak, basa-basi, sampai tiba-tiba dia berkata, “Kadang cinta itu seperti hujan kecil. Tak terasa bikin sakit… sampai kau demam, dan sadar tubuhmu tak sanggup lagi.”
Aku tak tahu siapa dia. Tapi kalimatnya menghantamku seperti kebenaran yang sudah lama kupendam.
Aku menunduk, mengingat saat-saat kecil bersama anak kita. Saat kau mengangkatnya tinggi-tinggi ke udara, tertawa keras, sebelum kemudian pelan-pelan hilang dalam kesibukan dan keluhan. Kini anak itu jarang pulang. Dia lebih nyaman tinggal di asrama. Rumah ini terlalu sunyi untuk usia mudanya.
Ketika aku kembali, rumah masih sama—dingin, hampa, penuh bayanganmu yang lalu-lalang tanpa suara.
Kau pulang larut malam. Langkahmu ringan, tapi bukan karena tak ada beban. Mungkin karena beban itu sudah lama kau jatuhkan di pangkuan perempuan lain.
Aku duduk di ruang tengah, menunggu. Kali ini bukan untuk mendengar penjelasan, tapi untuk mengatakan sesuatu.
“Aku ingin bicara,” kataku, menahan gejolak di dada.
Kau menatapku, lalu duduk di kursi seberang. Tak ada jarak yang lebih jauh daripada duduk berhadapan dengan seseorang yang hatinya telah pergi.
“Apakah dia membuatmu bahagia?” tanyaku akhirnya.
Kau terkejut, tapi tak menyangkal. Tak juga mengiyakan. Matamu menatap kosong, lalu pelan-pelan kau berkata, “Aku merasa… hidup kembali saat bersamanya.”
Kalimat itu mengiris lebih tajam daripada pengakuan berselingkuh. Karena ia bukan hanya soal tubuh, tapi tentang hati yang tak lagi pulang.
“Lalu aku?” suaraku gemetar. “Aku ini apa sekarang?”
“Kaulah rumah,” jawabmu, lirih. “Tempat yang kutinggali. Tapi aku tak tahu sejak kapan aku tak merasa di dalamnya.”
Aku terdiam. Tak tahu harus tertawa atau menangis. Aku ini rumah? Sementara kau menjadi tamu yang keluar masuk sesuka hati?
Kau bangkit, meninggalkanku dengan tatapan yang bahkan tak bisa menyiratkan maaf.
Malam itu aku masuk ke kamar mandi. Air dingin menyentuh wajahku. Dalam pantulan cermin, aku melihat perempuan yang mulai kehilangan dirinya. Di mata itu, tak ada lagi cahaya. Di garis bibir itu, tak ada tawa.
Hanya kesunyian yang tumbuh seperti jamur, memenuhi ruang batin yang dulu hangat.
Dan di luar sana, gerimis masih turun. Mencuri satu per satu sisa kebahagiaan, sampai yang tinggal hanya sepi yang membeku.
(Bersambung, seri ke-5: Sepucuk Surat yang Tak Pernah Terkirim)