Sabtu, Juli 12, 2025
No menu items!

500 Orang Warga Israel Tewas saat Perang dengan Iran

Di balik kegagalan militer Israel, gempuran Iran memaksa Washington menghitung ulang harga agresi

Must Read

JAKARTAMU.COM | Di layar kaca Iran, lagu Boom Boom Tel Aviv bergema dalam satu miliar tayangan. Lagu itu kini bukan lagi sekadar parodi, melainkan simbol sebuah kemenangan naratif yang diperjuangkan dengan darah dan rudal. Di balik irama itu, di langit dan tanah Timur Tengah, perang yang dimulai dengan keyakinan Washington-Tel Aviv bakal menang cepat justru menjadi kisah tentang keangkuhan yang runtuh.

Dalam sebuah wawancara langsung yang disiarkan di Teheran, juru bicara parlemen Iran, Mohammad Baqer Ghalibaf, tak segan menyebut apa yang terjadi sebagai kegagalan total Israel. “Penghentian agresi Israel bukanlah kemurahan hati mereka, melainkan akibat kegagalan mereka sendiri,” katanya dingin.

Ghalibaf, mantan komandan Pasukan Garda Revolusi, mengungkap bahwa korban di pihak Israel jauh lebih besar dari yang diumumkan. Berdasarkan analisis matematis korban luka yang mencapai 3.500 orang, ia menyebut seharusnya jumlah korban tewas minimal 500 orang: angka yang tak pernah diakui oleh Tel Aviv.

“Dominasi kita di darat dan udara membuat pusat-pusat militer dan pertahanan Israel lumpuh,” ujarnya. Ia menyebut akurasi rudal Iran dalam serangan balasan mencapai 90 persen. Dalam narasi Ghalibaf, Iran tak hanya melawan Israel, tetapi juga NATO, Amerika, dan seluruh Barat yang berdiri di belakang mereka.

Pernyataan itu tak berlebihan jika melihat perkembangan di lapangan. Serangan rudal Iran menghancurkan pusat-pusat komunikasi utama Israel, dan bahkan, seperti diungkap oleh citra satelit, meluluhlantakkan radome—kubah komunikasi rahasia milik AS—di Pangkalan Udara Al Udeid, Qatar. Citra dari Planet Labs menunjukkan radome itu masih utuh pada pagi 23 Juni, dan lenyap keesokan harinya dengan bekas hangus.

Sejumlah diplomat menyebut serangan balasan Iran itu sebagai “momen Al Udeid”—sama seperti ketika Amerika pernah dipermalukan di Benghazi. Bahkan media AS, The Hill, menyarankan agar Washington menutup saja pangkalan itu, karena “lebih banyak jadi liabilitas ketimbang aset.”

Diplomasi yang Diabaikan, Janji yang Ingkar

Kemarahan Iran semakin memuncak setelah serangan AS pada 22 Juni yang menghantam tiga fasilitas nuklir Iran di Natanz, Fordow, dan Isfahan — hanya sehari setelah Israel membunuh komandan dan ilmuwan senior Iran dalam agresi yang dimulai 13 Juni. Kedua serangan itu, menurut Menteri Luar Negeri Abbas Araghchi, adalah “pukulan telak terhadap diplomasi dan Perjanjian Non-Proliferasi Nuklir (NPT)”.

Ghalibaf menyebut serangan AS sebagai “pengkhianatan di tengah negosiasi.” Di meja diplomasi yang semula membicarakan masa depan ekonomi dan stabilitas kawasan, AS justru memerintahkan pemboman. “Jika mereka jujur dalam tawaran diplomatiknya, Amerika harus memberi kompensasi atas kerusakan yang mereka timbulkan,” kata Ghalibaf.

Di Teheran, dukungan bagi pemerintah bukan hanya datang dari parlemen, tapi juga dari ulama Sunni dan Syiah. Ghalibaf bahkan menyamakan momen ini dengan embargo tembakau pada akhir abad ke-19: “Inilah embargo tembakau modern, di mana rakyat dan ulama berdiri bersama melawan tirani luar.”

Narasi di Langit, Perang di Darat

Seluruh konfrontasi selama 12 hari itu tidak hanya menjadi pertempuran di darat dan udara, tetapi juga di ruang publik. Video musik Boom Boom Tel Aviv yang mengolok-olok kegagalan sistem pertahanan Israel dan menampilkan rudal Iran menghantam target-target strategis menjadi viral dan diklaim telah dilihat lebih dari satu miliar kali di seluruh dunia. “Ini juga kemenangan perang narasi,” ujar Ghalibaf.

Namun, di Tel Aviv, nada yang terdengar jauh berbeda. Presiden AS Donald Trump, yang oleh banyak pihak dinilai terburu-buru menarik pasukan setelah serangan Iran ke Al Udeid, menyebut serangan balasan Teheran sebagai “sangat lemah.” Tetapi bagi mereka yang membaca laporan rahasia kerusakan di Qatar dan jumlah korban sebenarnya, nada itu terdengar seperti penyangkalan belaka.

Di dunia diplomasi, agresi ini menyisakan lubang lebar pada kredibilitas Washington dan Tel Aviv. Dua sekutu itu kini sama-sama dipandang telah melanggar Piagam PBB, hukum internasional, dan NPT.

“Shut It Down”

Di Washington, perdebatan internal mulai terdengar. The Hill memuat tajuk keras: “Shut It Down” — mengacu pada pangkalan Al Udeid di Qatar. Mantan Komandan CENTCOM Jenderal Frank McKenzie bahkan sudah pernah memperingatkan bahwa pangkalan itu “bisa dilumpuhkan Iran kapan pun mereka mau.”

Sementara itu, di Teheran, para pejabat mulai mengatur napas, mengumpulkan puing, dan mempersiapkan babak baru konfrontasi.

Kemenangan yang Pahit

Di ujung konfrontasi ini, pertanyaan yang tersisa bukan lagi siapa menang dan siapa kalah. Tetapi lebih kepada: berapa harga yang harus dibayar untuk setiap narasi kemenangan.

Di satu sisi, Iran berhasil memaksa Israel dan AS mundur, melumpuhkan pangkalan vital, dan mengontrol cerita yang beredar di publik global. Di sisi lain, darah komandan, ilmuwan, dan warga sipil Iran tetap menjadi harga yang tak bisa dihapus.

Di langit Tel Aviv, rudal-rudal itu mungkin telah berhenti terbang. Tetapi gema Boom Boom Tel Aviv terus bergema, sebagai peringatan bahwa perang ini jauh dari selesai.

Budiman Sudjatmiko: Kolaborasi Ormas Islam adalah Kekuatan Pengentasan Kemiskinan

JAKARTAMU.COM | Ketua Badan Percepatan Pengentasan Kemiskinan (BP Taskin) Budiman Sudjatmiko menyatakan setiap ormas Islam memiliki keunikan dalam pengelolaan...

More Articles Like This