JAKARTAMU.COM | Sudah 57.418 nyawa melayang, dan lebih dari 136.000 orang luka-luka sejak Oktober 2023, angka yang tidak lagi sekadar statistik, melainkan bukti nyata atas brutalitas yang terus dipelihara oleh Israel, di hadapan dunia yang makin lihai berpura-pura peduli.
Israel, yang mengklaim membela diri, tampaknya terlalu sibuk menargetkan rumah sakit, sekolah, dan pasar, ketimbang mengincar militer lawan. Dalam sehari terakhir, 80 warga Palestina tewas dan 304 luka-luka, kebanyakan perempuan dan anak-anak. Karena, tentu saja, termasuk balita dianggap ancaman yang layak dibombardir. Serangan terbaru sejak Maret telah menambahkan 6.860 korban jiwa, menjadikan langit Gaza lebih muram dari sebelumnya.
Sementara Mahkamah Internasional sudah menyerukan penghentian genosida, dan Dewan Keamanan PBB bersuara seakan peduli, tindakan nyata masih nihil. Komite-komite dunia tampak lebih fasih berdebat di ruang ber-AC ketimbang turun tangan menyelamatkan nyawa. Gaza dijadikan teater kekerasan tanpa sutradara kemanusiaan.
Sementara itu, dunia selektif dalam empati. Perang di tempat lain bisa memicu konferensi pers mendadak dan gelombang dukungan, tetapi ketika yang tertindas adalah rakyat Palestina, empati berubah menjadi debat administratif. Gaza jadi sandera dalam narasi diplomatik yang penuh basa-basi.
Tapi Gaza belum menyerah. Di balik reruntuhan dan keterbatasan, ada doa yang tak berhenti. Ada harapan yang dipertahankan, meski bukan oleh para pemimpin dunia, tapi oleh orang-orang yang sudah kehilangan segalanya dan tetap bertahan. Karena mungkin, di saat yang lain sibuk mengecat citra diri, Gaza masih memilih untuk hidup, meski setiap harinya dihukum karena itu.
Sumber : WAFA