JAKARTAMU.COM | Di hamparan gurun Qatar, sebuah kubah putih setinggi gedung dua lantai berdiri di tengah pangkalan udara terbesar Amerika Serikat di Asia Barat. Kubah itu, radome, pelindung terminal komunikasi rahasia bernama MET (Modernization Enterprise Terminal). Ini selama bertahun-tahun menjadi jantung komunikasi komando AS dari Teluk ke Washington.
Kini, kubah itu lenyap. Hanya tersisa tanah gosong dengan puing yang bertebaran.
Citra satelit terbaru yang dianalisis Associated Press dari Planet Labs PBC membongkar fakta yang selama ini ditutup-tutupi Washington: Al Udeid, yang disebut Presiden AS Donald Trump “tak tersentuh,” ternyata dilumpuhkan oleh rudal-rudal Iran pada 23 Juni lalu.
“Foto dari Planet Labs menunjukkan radome masih utuh pada pagi 23 Juni, hari pembalasan Iran,” tulis laporan itu. “Tapi foto-foto tanggal 25 Juni menunjukkan radome itu hilang, dengan bekas terbakar dan bangunan di sebelahnya rusak.”
Hingga berita ini ditulis, baik Pentagon maupun pemerintah Qatar tidak pernah mengakui kerusakan itu secara resmi. Trump bahkan menulis di Truth Social, “Serangan Iran sangat lemah. Tak ada apa-apa.”
Tapi citra satelit bicara lain.
Target: Jantung Komando
Radome yang hancur bukan sekadar atap pelindung parabola. Di bawahnya terpasang MET, peralatan komunikasi canggih senilai USD15 juta yang dipasang sejak 2016. Pusat syaraf komunikasi rahasia AS untuk kawasan Timur Tengah, dengan teknologi anti-jamming pertama di luar AS.
Dokumen resmi Angkatan Udara AS menyebut MET sebagai penghubung tentara di lapangan dengan komando di Washington, menyatukan suara, video, dan data secara aman.
Dan Iran tahu betul nilai simbolis dan strategisnya.
Rudal balistik Iran menghantam Al Udeid sehari setelah tiga fasilitas nuklir Iran di Natanz, Fordow, dan Isfahan dihajar pembom AS. Menteri Luar Negeri Iran menyebut serangan AS itu sebagai “pukulan mematikan bagi diplomasi,” pelanggaran Piagam PBB dan perjanjian nuklir NPT.
Sebagai pembalasan, Iran menyebut operasi mereka Kabar Kemenangan: rudal-rudal balistik menghujani Al Udeid, menghancurkan radome, melumpuhkan komunikasi, dan memaksa AS serta Israel mengumumkan gencatan senjata sepihak.
Kemenangan Simbolis
Di media sosial Iran, video Boom Boom Tel Aviv bergema, sementara di Washington, suara-suara skeptis mulai muncul. Kolumnis di The Hill menulis tajuk “Shut It Down,” menyarankan agar Al Udeid ditutup karena kini jadi lebih banyak liabilitas ketimbang aset.
“Serangan Iran mengungkap fakta tak mengenakkan: Pangkalan itu punya kelemahan militer. Lebih buruk lagi, ia memberi Qatar terlalu banyak pengaruh atas kebijakan AS,” tulis The Hill, mengutip mantan Kepala CENTCOM Jenderal Frank McKenzie yang sudah memperingatkan pangkalan itu bisa “tak bisa dipakai” bila Iran serius menyerang.
Serangan ini menunjukkan, bagi dunia, bahwa Iran bukan hanya bisa melawan di tanahnya sendiri, tapi juga di jantung jaringan militer AS di Teluk.
Gencatan Senjata dengan Narasi Goyah
Trump cepat-cepat menyebut gencatan senjata sebagai langkah mulia Washington untuk “menghentikan eskalasi.” Tetapi di balik layar, Pentagon tahu kerusakan di Al Udeid tak sepele. Laporan internal yang bocor menyebut MET hancur total dan komunikasi terpaksa dialihkan ke pangkalan lain.
Di Tel Aviv, para pejabat Israel juga terpaksa meredam diri. Sumber diplomatik menyebut para panglima militer Israel terkejut bahwa Iran bisa menghantam begitu presisi ke titik yang selama ini mereka kira aman.
Langit gurun Qatar kini kembali senyap, debu beterbangan menutup bekas luka di tanah Al Udeid. Tapi di Tehran, pesan telah disampaikan: bahkan jantung komando AS di Teluk pun tak kebal dari balas dendam Iran.
Radome yang hilang itu lebih dari sekadar infrastruktur yang terbakar. Ia adalah simbol bahwa perang di Timur Tengah kini tak lagi sekadar soal siapa punya lebih banyak jet atau bom. Tapi siapa yang bisa mengontrol narasi, membangun presisi, dan memilih target yang paling menyakitkan.
Dan di medan itu, untuk sekali ini, Iran tampaknya unggul.