Rabu, Agustus 6, 2025
No menu items!

Aktivis Perempuan Muhammadiyah Gemakan Islam Berkemajuan di Depan Raja Charles

Must Read

LONDON, INGGRIS | Yayah Khisbiyah menyuarakan wajah Islam yang progresif di depan ribuan orang di Inggris, termasuk Raja Charles. Aktivis Perempuan Muhammadiyah itu hadir sebagai representasi suara Islam damai dari Indonesia.

Yayah, dosen psikologi perdamaian sekaligus Sekretaris Badan Kerjasama dan Hubungan Internasional PP Muhammadiyah, menjadi pembicara dalam dua forum internasional di Inggris. Keduanya adalah Jalsa Salana (25–29 Juli 2025) yang diselenggarakan komunitas Ahmadiyah, serta Minhaj-ul-Qur’an International Peace Conference di University of Warwick (2–3 Agustus 2025).

Pada forum Jalsa Salana, Yayah menyampaikan pidato berjudul “Transforming Prejudice to Sacred Encounter and Unity for Justice, Peace, and Prosperity.” Di depan sekitar 40 ribu peserta, termasuk belasan tokoh agama dan pejabat negara, ia menyerukan pentingnya membuka ruang dialog dan kolaborasi lintas kelompok sebagaimana pendekatan Islam berkemajuan yang digagas Muhammadiyah. Gagasan ini merupakan solusi atas polarisasi global. Menurutnya, Al-Qur’an dan kajian psikologi sosial sama-sama mendukung strategi perjumpaan langsung sebagai kunci meruntuhkan prasangka.

“Muhammadiyah melihat Islam sebagai energi etis untuk membangun keadilan sosial. Dengan kerjasama dan dialog yang konstruktif, kita dapat menciptakan masyarakat yang lebih harmonis, damai, dan berkeadilan,” ungkapnya.

Ia menggarisbawahi kesamaan antara Muhammadiyah dan Ahmadiyah dalam kerja sosial dan pendidikan, termasuk dalam memperjuangkan kesetaraan gender dan keadilan sosial. “Sebagai seorang dari komunitas Muslim arus utama, kehadiran saya di sini memerlukan kerendahan hati dan keberanian intelektual. Saya tidak datang untuk mempertajam perbedaan, melainkan untuk menemukan cahaya Ilahi di balik kesaksian tauhid,” ucap Yayah.

Yayah Khisbiyah bersama komunitas Ahmadiyah Inggris. Foto/istimewa

Di forum Minhaj-ul-Qur’an, Yayah berdialog dengan aktivis lintas negara. Ia menekankan perlunya gerakan keislaman yang berpijak pada epistemologi pembebasan, yang mampu merangkul perbedaan dan mengatasi ketidakadilan struktural. Dalam diskusi, ia menyoroti kontribusi perempuan Muslim dalam membangun perdamaian yang berkelanjutan.

Kehadiran Yayah disambut langsung oleh dua tokoh penting: Huzoor e Anwar sebagai pemimpin spiritual Ahmadiyah dan pendiri Minhaj, Syaikh-ul-Islam. Pidatonya mengutip pernyataan Nelson Mandela: “People must learn to hate, and if they can learn to hate, they can be taught to love,” sebagai ajakan memperkuat ukhuwah Islamiyah dan ukhuwah insaniyah secara empatik.

Yayah menilai perjumpaannya dengan komunitas Ahmadiyah menguatkan keyakinan bahwa perbedaan tafsir keagamaan tidak seharusnya menjadi sekat. Ia menyebut kesamaan semangat pelayanan sebagai titik temu yang dapat membangun solidaritas lintas komunitas.

Partisipasi Yayah ini mendapat dukungan penuh dari Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Organisasi yang dikenal mengusung ‘Islam Berkemajuan’ itu mendorong warganya untuk terlibat aktif dalam diplomasi nilai dan menjalin hubungan dengan berbagai kalangan, baik lintas mazhab maupun lintas iman.

Melalui dua forum ini, peran warga Muhammadiyah dalam mewujudkan perdamaian global semakin tampak nyata, tidak hanya di tingkat nasional, tetapi juga dalam gelanggang internasional. (*)

KY Bali Minta Publik Lebih Aktif Awasi Hakim, Penghubung Daerah Harus Diperkuat

DENPASAR, JAKARTAMU.COM | Komisi Yudisial Wilayah Bali mendorong keterlibatan aktif masyarakat dalam mengawasi etika hakim. Hal ini sangat diperlukan...

More Articles Like This