Rabu, Agustus 6, 2025
No menu items!

Mengoreksi, Bukan Membenci: Sikap Tegas Ulama terhadap Penyimpangan Agama

Di tengah gemuruh toleransi dan slogan “menghargai pendapat”, sebagian ulama justru mengingatkan bahaya diam atas kesalahan. Bagi mereka, kebenaran bukan wilayah kompromi.

Must Read
Miftah H. Yusufpati
Miftah H. Yusufpati
Sebelumnya sebagai Redaktur Pelaksana SINDOWeekly (2010-2019). Mulai meniti karir di dunia jurnalistik sejak 1987 di Harian Ekonomi Neraca (1987-1998). Pernah menjabat sebagai Pemimpin Redaksi Majalah DewanRakyat (2004), Wakil Pemimpin Harian ProAksi (2005), Pemimpin Redaksi LiraNews (2018-2024). Kini selain di Jakartamu.com sebagai Pemimpin Umum Forum News Network, fnn.co.Id. dan Wakil Pemimpin Redaksi Majalah FORUM KEADILAN.

JAKARTAMU.COM | Di banyak forum dakwah, media sosial, bahkan seminar-seminar akademis, frasa ini sering dilontarkan dengan percaya diri: “Kita harus menghargai semua pendapat.” Terdengar bijak. Lugas. Demokratis. Tapi benarkah demikian dalam ranah agama?

Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan, ulama senior Arab Saudi yang juga anggota Hai’ah Kibaril Ulama, menyanggah. Dalam satu tulisan keras dan bernas berjudul Al-Bayaan li Akhtâ’i Ba’dhil Kuttâb, beliau menegaskan: “Menghargai pendapat orang lain dalam urusan agama bukanlah kaidah mutlak.” Menurutnya, kebenaran agama tidak tunduk pada opini mayoritas atau tren pemikiran. “Karena masalah dîn, pijakannya ialah Al-Qur’an dan as-Sunnah, bukan berdasarkan pendapat,” tegasnya.

Syaikh Fauzan tak sedang mengajak pada fanatisme atau menolak dialog. Yang ia soroti adalah kelonggaran sebagian pihak dalam memaklumi penyimpangan, bahkan ketika penyimpangan itu berseberangan dengan nash yang jelas. Dalam narasi beliau, menghargai pendapat yang bertentangan dengan Al-Qur’an justru adalah bentuk pengkhianatan terhadap Islam.

Ia lalu mengutip sikap tegas Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhu yang membantah pendapat Abu Bakar dan Umar dalam perkara haji tamattu’. “Aku mengatakan ‘Rasulullah bersabda’, sedangkan kalian mengatakan ‘Abu Bakar dan Umar berkata’,” demikian riwayat itu dikutip (lihat Al-Bayaan, hlm. 62).

Sikap seperti ini, bagi sebagian kalangan hari ini, mungkin dianggap kurang ajar. Namun bagi para ulama salaf, itu adalah loyalitas terhadap kebenaran. Imam Malik berkata, “Semua orang bisa dibantah, kecuali penghuni kubur ini,” sambil menunjuk ke makam Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam di Madinah.

Begitulah, koreksi bukan berarti kebencian. Membantah bukan berarti merendahkan. Bahkan Imam Syafi’i yang dikenal santun dalam adab ilmu pun pernah berkata: “Jika ucapanku bertentangan dengan sabda Rasulullah, maka benturkan pendapatku ke tembok.”

Tapi zaman berganti. Dan kebenaran kini sering diminta kompromi dengan perasaan. Kalangan yang menyerukan toleransi malah sering menjadi yang pertama mencibir ketika pendapatnya dikritik dengan dalil. “Mereka hanya menghargai pendapat yang sesuai dengan nafsu dan ambisi mereka,” sindir Syaikh Fauzan.

Lebih jauh, ia menolak gagasan “muwazanat”, semacam prinsip menyebut kebaikan dulu sebelum membantah kesalahan seseorang. Menurutnya, dalam konteks menyelamatkan umat dari penyimpangan, hal itu tidak relevan. “Tujuannya bukan mengoreksi orang itu, namun hanya menjelaskan kesalahannya supaya orang lain tidak terpedaya.”

Pernyataan ini bukan tanpa preseden. Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri memerintahkan Hassan bin Tsabit membantah kaum musyrik melalui syair. Bahkan, kata Nabi, “Jawablah untukku, dan semoga Ruhul Quds (Jibril) bersamamu” (HR. Bukhari dan Muslim).

Bantahan, dalam pandangan Islam klasik, adalah bagian dari penjagaan terhadap dien. Imam Ahmad bin Hanbal, dalam mukadimah bantahannya terhadap kelompok Jahmiyah, memuji keberadaan para ulama di setiap zaman yang “membersihkan penyimpangan orang-orang yang berlebih-lebihan terhadap Kitabullah.”

Namun demikian, Syaikh Fauzan menggarisbawahi, bantahan bukan ruang bebas memaki. Adab tetap syarat mutlak. “Jangan menyentuh pribadi, kecuali jika yang dibantah adalah ahli bid’ah atau orang yang menyebarkan kebodohan atas nama agama,” tulis beliau. Di titik ini, koreksi bukan lagi hak tapi kewajiban syar’i. “Sarana yang menyempurnakan kewajiban, maka hukumnya juga wajib,” tandasnya.

Tentu saja, sikap ini kerap berbenturan dengan atmosfer intelektual hari ini yang menuntut semua pendapat dirayakan. Maka tak heran, ulama-ulama yang berpegang teguh pada prinsip ini sering disematkan label: jumud, ekstrem, kaku. Tapi Syaikh Fauzan tidak gentar. Dalam doanya di penutup risalah, beliau meminta kepada Allah: “Perlihatkanlah al-haq sebagai kebenaran dan berilah kami kekuatan untuk mengikutinya; dan perlihatkanlah kebatilan sebagai kebatilan dan berilah kami kekuatan untuk menjauhinya.”

Di akhir hari, agama bukan milik satu ulama atau mazhab, tapi bukan pula taman bebas opini. Di antara batas nash dan adab, kritik dalam Islam tetap sah dan bahkan perlu. Karena kadang, membiarkan orang keliru dalam agama — adalah kezaliman yang lebih besar daripada membantahnya. (*)

KY Bali Minta Publik Lebih Aktif Awasi Hakim, Penghubung Daerah Harus Diperkuat

DENPASAR, JAKARTAMU.COM | Komisi Yudisial Wilayah Bali mendorong keterlibatan aktif masyarakat dalam mengawasi etika hakim. Hal ini sangat diperlukan...

More Articles Like This