JAKARTAMU.COM | Dalam sejarah Islam, perbedaan pendapat kerap tampil sebagai sumber polemik. Dari masalah fiqih wudu hingga status kafir terhadap pelaku dosa besar, silang pendapat di kalangan ulama hampir tak pernah reda. Namun dalam kitab Kitaabul ‘Ilmi, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin (ulama besar asal Saudi yang wafat pada 2001) justru mengajak pembacanya untuk merenungi hikmah di balik perselisihan itu.
“Perselisihan adalah takdir Allah Subhanahu wa Ta’ala yang pasti terjadi,” tulisnya dalam kitab tersebut. Menurutnya, Allah telah menetapkan bahwa manusia diciptakan dengan perbedaan karakter, latar belakang ilmu, tingkat pemahaman, kecerdasan, dan bahkan kondisi sosial yang membentuk pola pikir mereka. Dari situlah, lahir keragaman pandangan.
Pandangan Syaikh al-‘Utsaimin ini bukan tanpa dasar. Ia mengutip ayat Al-Qur’an dalam Surah Hud ayat 118-119:
“Dan kalau Tuhanmu menghendaki, tentulah Dia menjadikan manusia umat yang satu; tetapi mereka senantiasa berselisih, kecuali orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu.”
Dalam kerangka itu, perbedaan menjadi bagian dari rahmat. Tapi tentu, bukan sembarang perbedaan yang dapat dibenarkan. Al-‘Utsaimin membedakan antara perselisihan yang bisa ditoleransi (ikhtilaf tanawwu’) dan yang tercela (ikhtilaf tadhâdd). Yang pertama merupakan bentuk perbedaan dalam bentuk atau pilihan hukum yang semuanya memiliki dasar yang sahih. Seperti perbedaan dalam bacaan doa iftitah atau cara rukuk dalam salat. Sedangkan yang kedua adalah pertentangan hakiki dalam hal yang tidak bisa dikompromikan secara syar’i.
“Jika masing-masing pihak memiliki dalil, maka perbedaan itu bisa dianggap ijtihad yang sah,” tulisnya. Dalam kondisi seperti itu, seseorang tidak boleh mencela pihak lain hanya karena berbeda pandangan. Al-‘Utsaimin menekankan adab dalam berselisih: menjauhi sikap ghuluw (ekstrem) dan mencaci maki, serta menghindari fanatisme madzhab.
Pembedaan ini sejalan dengan konsep “ikhtilaf yang terpuji” dalam literatur klasik Islam. Ulama seperti Ibn Taymiyyah dan Al-Syafi’i pun pernah menyatakan bahwa perbedaan ijtihad adalah sesuatu yang niscaya selama dilakukan oleh ahlinya dan atas dasar dalil. Bahkan Imam Malik pernah berkata, “Setiap orang bisa salah dan benar, kecuali penghuni kubur ini”—sambil menunjuk makam Nabi Muhammad SAW.
Namun, dalam realitas sosial keagamaan hari ini, adagium klasik itu sering kali dilupakan. Perbedaan ijtihad yang seharusnya memperkaya justru memicu perpecahan. Forum daring, ceramah masjid, hingga ruang-ruang akademik tidak luput dari debat yang menajam dan tak jarang berujung saling menyesatkan. “Fanatisme terhadap guru, madzhab, atau ormas bisa mengaburkan esensi ilmu,” tulis Syaikh al-‘Utsaimin.
Lalu, bagaimana menyikapi perbedaan secara sehat? Al-‘Utsaimin mendorong umat Islam untuk kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah dengan kacamata ilmu. Bukan hanya dalil yang dijadikan sandaran, tapi juga kaidah istinbath (penggalian hukum), maqashid syariah (tujuan syariat), serta semangat tawadhu’ dalam menuntut ilmu.
Hikmah dari adanya perbedaan pun tak berhenti pada soal toleransi. Al-‘Utsaimin menunjukkan bahwa dengan adanya perbedaan, umat memiliki ruang fleksibilitas dalam beragama. Misalnya, saat seseorang kesulitan mengikuti pendapat yang satu, ia bisa mengikuti pendapat lain yang tetap dalam koridor syariat. Inilah yang disebut sebagai bentuk “kemudahan dalam agama”.
Mengutip kembali ungkapan Ibnu Qayyim, “Perbedaan pendapat adalah rahmat apabila tidak membawa kepada perpecahan.” Maka, menurut Al-‘Utsaimin, tugas para penuntut ilmu dan ulama bukan menghapus perbedaan, tetapi menjaga akhlak dalam mengelolanya.
Dalam suasana umat yang sering dirundung konflik identitas dan polarisasi mazhab, pesan dari Kitaabul ‘Ilmi ini terasa relevan. Perselisihan bukan untuk dipadamkan, tapi untuk dikelola dengan hikmah dan adab.