Senin, Januari 13, 2025
No menu items!

Fenomena Miftah Maulana dari Perspektif Ilmu Komunikasi

Must Read

JAKARTAMU.COM | Miftah Maulana Habiburrahman, penceramah yang beken dengan nama Gus Miftah, menjejali ruang media massa dan sosial lebih dari dua pekan terakhir. Perkataannya dianggap kasar dan tak pantas sebagai tokoh, apalagi untuk ukuran “Gus”, orang yang dianggap paham agama lebih dari orang lain.

Diawali videonya yang menyebut seorang penjual es teh dengan kata goblok, muncul pula beberapa video lama Miftah. Video-video itu sama-sama mempertontonkan kalimat-kalimat kasar dan lagi-lagi dianggap merendahkan.

Salah satunya saat dia tampil dengan komedian perempuan Yati Pesek. Dalam salah satu dialog di atas panggung, Miftah sempat melontarkan kata tak senonoh, kendati dalam konteks guyon. Miftah makin banjir kecaman.

Pakar Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah (UMJ) Harmonis. Foto/istimewa

Pakar Ilmu Komunkasi Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) Harmonis melihat fenomena Miftah Maulana sebagai komodifikasi, teori yang melihat sebuah pesan sebagai nilai sekaligus komoditas yang bisa diperdagangkan.

”Dalam kajian ekonomi politik komunikasi, lebih khusus lagi kajian media terdapat teori yang mengatakan bahwa sebuah pesan, bukan hanya memiliki nilai yang sejatinya diimplementasikan atau dimanfaatkan mereka yang berkepentingan. Pesan juga dapat dijadikan sebagai produk yang dapat dipedagangkan penyampai pesan,” ujar Harmonis kepada Jakartamu.com, Jumat (13/12/2024).

Menurut dia, pesan baik tentang agama atau yang lain, diperdagangkan dalam berbagai bentuk kemasan yang menghibur dengan tetap tidak menghilangkan makna subtantifnya. ”Meskipun seringnya kesan makna subtantif lebih sedikit dibanding keuntungan, baik ekonomi maupun politik, yang diperoleh pengirim pesan,” kata Harmonis.

Dari perspektif agama, Harmonis yang juga wakil ketua MPI PWM DKI Jakarta mengatakan fenomena Miftah ditelah digambarkan dengan tepat dalam Al-Qur’an.

”Allah yang memuliakan dan Allah juga menghinakan. Hanya Allah yang meninggikan dan yang menurunkan derajat seseorang, kapan Allah menghendakinya, cepat atau lambat,” kata Harmonis.

Maka dari itu, fakkir qabla anta’zima (berpikir sebelum berbuat) menjadi sebuah keniscayaan (keharusan). Miftah dalam perspektif teori komodifikasi sebenanrya telah melakukan itu.

”Hanya diksi dan narasi pilihannya tidak mempunyai nilai jual yang menguntungkan, sebalaiknya menjadi bumerang. Padahal subtansi komodifikasi terletak pada keuntungannya,” tutur Harmonis.

Pantulan Sang Surya di Balik Monas

MARS Sang Surya mengiringi Lagu Kebangsaan Indonesia Raya menggema di seputar Lapangan  Monumen Nasional Jakarta,  mengawali pagi pada Minggu...

More Articles Like This