JAKARTAMU.COM | Delapan organisasi masyarakat sipil bersama 13 individu, termasuk warga terdampak dan guru besar, resmi menggugat Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Perppu Cipta Kerja menjadi Undang-Undang. Permohonan judicial review itu diajukan ke Mahkamah Konstitusi (MK), Jumat (4/7/2025).
Inti dari gugatan ini adalah keberatan atas sejumlah pasal dalam UU Cipta Kerja yang memberikan kemudahan dan percepatan terhadap Proyek Strategis Nasional (PSN). Menurut para pemohon, ketentuan-ketentuan itu justru menjadi legitimasi atas serangkaian pelanggaran hukum yang merugikan warga negara, merusak lingkungan hidup, serta menghilangkan ruang hidup masyarakat.
“Banyak proyek yang berjalan di bawah payung PSN terbukti mengabaikan hak-hak dasar warga,” kata perwakilan dari koalisi pemohon. Mereka mencontohkan Rempang Eco City di Batam, reklamasi PIK 2 di Jakarta, proyek food estate di Papua, hingga pengembangan Ibu Kota Nusantara (IKN) di Kalimantan Timur. Di berbagai proyek tersebut, mereka menilai telah terjadi penggusuran paksa, perampasan lahan, kerusakan ekosistem, hingga kriminalisasi terhadap warga yang menolak.

Gugatan ini menyoroti UU Cipta Kerja yang memberikan perlakuan khusus terhadap PSN, menjadikannya kategori istimewa yang bisa menghindari berbagai regulasi, termasuk aturan perlindungan lingkungan dan hak asasi manusia. “Ini berbahaya karena merusak prinsip due process of law. Negara seolah mempermudah pelanggaran dengan dalih pembangunan,” ujar salah satu penggugat.
Para pemohon juga menekankan bahwa penyusunan daftar proyek PSN selama ini tidak melibatkan partisipasi publik yang bermakna, serta tidak melalui uji kebutuhan yang obyektif. Prinsip kehati-hatian ekologis, yang seharusnya menjadi dasar utama dalam pembangunan, diabaikan demi ambisi percepatan proyek. Akibatnya, kebijakan yang lahir cenderung eksploitatif dan elitis.
Menurut mereka, hal ini bertentangan dengan nilai-nilai dasar dalam UUD 1945, yang menempatkan perlindungan lingkungan hidup dan keadilan sosial sebagai pilar utama negara hukum. MK diharapkan menjalankan peran konstitusionalnya sebagai penjaga hak-hak warga dan pelindung lingkungan.
Gugatan ini diajukan oleh gabungan organisasi masyarakat sipil, antara lain Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), Trend Asia, Pantau Gambut, Yayasan Auriga Nusantara, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), dan FIAN Indonesia.
Tak hanya organisasi, sejumlah individu yang terdampak langsung juga turut menjadi pemohon. Mereka berasal dari berbagai wilayah, seperti Rempang (Batam), Merauke (Papua Selatan), Sepaku (IKN), dan Konawe (Sulawesi Tenggara). Dari kalangan akademisi dan tokoh masyarakat, tercatat Dr. Muhammad Busyro Muqoddas, ketua PP Muhammadiyah Bidang HAM, Hukum, dan Kebijakan Publik, juga bergabung dalam gugatan ini. (*)