Minggu, Juli 6, 2025
No menu items!

Hadiri KTT BRICS, Apa yang Harus Diperjuangkan Prabowo?

Must Read

JAKARTAMU.COM | Presiden Prabowo Subianto akan menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) BRICS di Rio de Janeiro, Brazil. Pada partisipasi pertamanya di forum tertinggi BRICS ini, Indonesia akan menegaskan sikap dan posisi sebagai bridge builder.

“Presiden Prabowo, yang hadir untuk pertama kalinya, akan menggunakan kesempatan ini untuk menyuarakan sikap dan posisi Indonesia sebagai bridge-builder dalam berbagai isu global dan upaya kolektif di tengah situasi dunia yang semakin tidak menentu,” kata Kementerian Luar Negeri (Kemlu) dalam pernyataannya di Jakarta, Minggu (6/7/2025)

KTT BRICS pada 6–7 Juli 2025 ini kembali menjadi sorotan dunia. Kehadiran BRICS sejauh ini menunjukkan soliditas koalisi negara-negara berkembang yang kian bertaring dalam arsitektur geopolitik dan geoekonomi global.

Bertemakan “Strengthening Global South Cooperation to a More Inclusive and Sustainable Governance”, KTT tahun ini mempertemukan lebih dari 30 pemimpin negara anggota, mitra, serta kepala organisasi internasional. Indonesia termasuk di antaranya—bukan lagi sekadar mitra dialog, melainkan kini bagian resmi dari poros strategis BRICS.

Dalam forum ini, para pemimpin BRICS membahas sejumlah isu penting: dari konflik geopolitik berkepanjangan, tata kelola kecerdasan buatan (AI), hingga langkah-langkah kolektif menghadapi krisis iklim dan tantangan kesehatan global. KTT tersebut diharapkan menghasilkan Leaders’ Declaration, sebuah pernyataan sikap bersama yang menandai arah geopolitik dan geoekonomi baru bagi negara-negara berkembang.

Infografik AI

Bagi Indonesia, keterlibatan dalam BRICS adalah peluang strategis untuk memperluas pengaruh diplomatik dan memperkuat posisi tawar ekonomi di tengah tatanan dunia yang sedang bergeser.

Sejak resmi bergabung pada 2024, Indonesia telah ikut dalam lebih dari 165 pertemuan dalam kerangka BRICS, termasuk 20 pertemuan tingkat menteri. Keterlibatan aktif ini mencerminkan keseriusan Indonesia dalam memainkan peran sebagai penghubung antara negara-negara berkembang dan kekuatan-kekuatan global.

Menurut pengamat hubungan internasional dari CSIS, Yose Rizal Damuri, keberadaan Indonesia dalam BRICS membuka ruang baru untuk pembentukan koalisi negara-negara Global South. “Indonesia tidak hanya bisa memperjuangkan isu-isu pembangunan dan reformasi ekonomi global, tetapi juga berperan sebagai jembatan antara negara-negara besar dan negara-negara kecil di selatan,” ujarnya dalam diskusi publik di Jakarta, Januari 2025 lalu.

Hal senada disampaikan Prof. Hikmahanto Juwana, pakar hukum internasional Universitas Indonesia. Ia menilai BRICS sebagai forum strategis alternatif yang tak mendominasi seperti G7, namun tetap kuat secara ekonomi dan politik. “Kita tidak harus selalu mengikuti poros Barat. BRICS memberi kita alternatif jalur diplomasi dan perdagangan yang lebih fleksibel,” katanya, dikutip dari Kompas, edisi 22 Agustus 2024.

Salah satu keuntungan nyata adalah perluasan akses pasar. BRICS kini mencakup lebih dari 40% populasi dunia dan sekitar 30% PDB global (data IMF 2024). Dengan bergabung, Indonesia memperkuat peluang ekspor ke negara-negara anggota seperti Tiongkok, India, Brasil, Rusia, dan Afrika Selatan. Produk unggulan seperti nikel, sawit, batubara, dan produk manufaktur mendapat tempat lebih luas dalam skema perdagangan intra-BRICS yang mengedepankan prinsip resiprositas dan keberlanjutan.

Kerja sama finansial melalui mekanisme seperti BRICS Pay, dan kemungkinan mata uang bersama BRICS (BRICS currency), juga membuka peluang bagi Indonesia untuk mengurangi ketergantungan pada dolar AS. Deputi Gubernur Bank Indonesia Juda Agung, dalam Forum Ekonomi Global 2024 di Davos menyebut bahwa diversifikasi sistem pembayaran internasional adalah langkah krusial untuk stabilitas moneter jangka panjang Indonesia.

Tak kalah penting, isu tata kelola AI dan transisi energi menjadi medan kolaborasi baru. Dalam KTT sebelumnya di Johannesburg (2023), BRICS menyepakati pembentukan BRICS Energy Research Cooperation Platform dan AI Task Force, yang kini terbuka untuk partisipasi Indonesia. Ini membuka akses pada kolaborasi riset, pertukaran teknologi, dan investasi sektor hijau.

Sementara dalam tataran geopolitik, BRICS sebagai poros tandingan G7 memungkinkan Indonesia memperkuat posisi tawar dalam reformasi tata kelola global. BRICS memberi ruang perjuangan pada isu-isu politik global, di antaranya menyangkut reformasi struktur Dewan Keamanan PBB dan hak veto, serta sistem Bretton Woods yang telah terbukti tidak adil. (*)

Kalau Iran Bisa, Kenapa Indonesia Tak Kembangkan Riset Inovasi dan Iptek?

KETIKA memasuki Masjid Gedhe Kauman di Yogyakarta, tepat di teras utamanya terlihat sebuah kotak amal bertuliskan Lazismu Kauman....

More Articles Like This