KETIKA memasuki Masjid Gedhe Kauman di Yogyakarta, tepat di teras utamanya terlihat sebuah kotak amal bertuliskan Lazismu Kauman. Masjid itu bukan milik Muhammadiyah. Masjid Gedhe adalah masjid utama Kesultanan Yogyakarta dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Namun kotak amalnya bukan milik Baznas Pemprov DIY, melainkan Lazismu, lembaga zakat milik Muhammadiyah. Ini mencerminkan betapa kuat dan dalamnya hubungan masyarakat Yogyakarta dengan Muhammadiyah.
Pengalaman itu membawa saya merenung tentang zakat. Selama ini, zakat kerap diarahkan untuk kebutuhan konsumtif dan program pemberdayaan sosial. Namun, muncul pertanyaan penting: bisakah zakat juga digunakan untuk mendanai riset ilmiah, khususnya di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek)?
Riset ilmiah menuntut dedikasi tinggi sekaligus pembiayaan besar. Sayangnya, ketika banyak negara terus meningkatkan investasi di bidang riset, Indonesia justru mengalami penurunan. Bahkan dalam 100 hari pertama pemerintahannya, Presiden Prabowo Subianto menerbitkan Instruksi Presiden No. 1 Tahun 2025 yang mewajibkan pemangkasan anggaran kementerian dan lembaga hingga lebih dari Rp306 triliun. Langkah ini disebut sebagai bentuk efisiensi, namun realitanya adalah relokasi anggaran yang bisa berdampak serius pada sektor vital seperti riset dan pengembangan.
Padahal, kemajuan sains dan teknologi sangat ditentukan oleh besarnya dana riset. Idealnya, alokasi dana riset minimal 1 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Sayangnya, Indonesia baru mengalokasikan sekitar 0,3 persen dari PDB, hanya sekitar Rp30 triliun. Angka ini jauh tertinggal dibanding negara tetangga: Malaysia (1,15%), Singapura (2,07%), Tiongkok (2,1%), bahkan Jepang (3,65%).
Ketertinggalan ini membuat Indonesia harus segera berbenah. Kemajuan suatu bangsa hari ini sangat bergantung pada kekuatan ipteknya. Tanpa investasi di bidang ini, kita akan terus tertinggal dalam banyak hal, mulai industri, pertahanan, hingga layanan publik.
Contoh nyata kekuatan Iptek bisa kita lihat dari Iran. Meski sudah puluhan tahun mengalami embargo dari negara-negara Barat, Iran mampu membangun kekuatan pertahanan yang mengejutkan dunia. Serangan balasan mereka terhadap Israel baru-baru ini, termasuk kemampuan menembus sistem pertahanan canggih, menunjukkan bahwa investasi besar mereka dalam riset pertahanan dan teknologi telah membuahkan hasil.
Maka pertanyaannya kembali, mengapa dana zakat tidak bisa diarahkan, sebagian kecil saja, untuk mendukung riset dan inovasi? Bukankah pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi juga bagian dari membangun kemaslahatan umat? Bukankah kemajuan suatu bangsa pada akhirnya berkontribusi pada keadilan, kesejahteraan, dan kedaulatan?
Jika lembaga zakat seperti Lazismu atau Baznas dapat membuka ruang bagi pembiayaan riset, terutama yang aplikatif dan berdampak bagi kehidupan umat, sejatinya itu adalah investasi untuk peradaban yang kokoh dan berdaya saing. (*)