JAKARTAMU.COM | Ketua YLBHI M Isnur melontarkan kritik tajam terhadap proyek strategis nasional (PSN) yang menurutnya telah menjadi dalih untuk merampas ruang hidup warga, menyingkirkan prosedur hukum, dan melibatkan aparat militer dalam konflik sipil. Pernyataan ini disampaikan dalam konferensi pers bertajuk “Gerakan Rakyat Menggugat PSN – Suara dari Akar Rumput” yang digelar di Pusat Dakwah Muhammadiyah, Menteng, Jakarta, Senin (7/7/2025) sore.
Acara ini merupakan tindak lanjut dari pengajuan uji materi ke Mahkamah Konstitusi atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Perppu Cipta Kerja menjadi Undang-Undang, khususnya pasal-pasal yang memberikan kemudahan luar biasa bagi proyek strategis nasional.
“Dengan dalih PSN, warga diusir, ruang hidupnya hilang, bahkan dalam banyak kasus mereka dihadapkan dengan moncong senjata. Ini bukan pembangunan, ini penggusuran paksa yang difasilitasi negara,” kata Isnur.
YLBHI menilai pasal-pasal yang mereka gugat—terdiri dari sembilan pasal yang tersebar di berbagai bagian UU Cipta Kerja—telah melanggar prinsip dasar konstitusi. “Warga negara dijamin haknya atas keadilan, kepastian hukum, dan perlindungan. Itu tidak boleh dikalahkan oleh alasan investasi atau pembangunan,” ujarnya.
Isnur mengungkap bahwa dalam kasus di Rempang dan Merauke, TNI dikerahkan tanpa dasar hukum yang sah. “Dalam Undang-Undang TNI jelas disebutkan bahwa militer tidak boleh terlibat dalam urusan sipil atau pemerintahan. Kalau pun mau dilibatkan dalam operasi selain perang, harus ada SK Presiden dan persetujuan DPR. Tapi itu tidak terjadi,” tegasnya.
YLBHI juga menyoroti bagaimana proyek-proyek PSN yang dikerjakan oleh korporasi—termasuk asing—telah mengorbankan masyarakat lokal. “Apa yang kita lihat ini adalah negara hukum yang berubah menjadi negara korporasi. Proyek-proyek ini memakai nama negara, tapi manfaatnya untuk segelintir pemodal,” tambahnya.
Ia mengingatkan bahwa bahkan dalam kondisi perang pun, negara tidak boleh melarang warganya menjalankan ibadah. “Tapi sekarang, demi PSN, warga kehilangan rumah, tanah, dan kehidupan mereka. Apa bedanya dengan perang?” katanya retoris.
Isnur juga menyesalkan kecenderungan pemerintah dan DPR yang menurutnya makin abai terhadap konstitusi. Ia mengutip putusan Mahkamah Konstitusi sebelumnya yang menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat, namun kemudian diabaikan. Hakim konstitusi yang membatalkan undang-undang tersebut, Aswanto, justru dicopot.
“Ini bukan hanya soal pasal-pasal, tapi soal arah bangsa. Kalau lembaga yudikatif bisa ditekan, jika MK tak bisa lagi jadi benteng terakhir, maka negara ini sudah menuju negara gagal—failed nation,” ujar Isnur.
Upaya menggugurkan legal standing YLBHI dan para pemohon lainnya juga disinggung dalam konferensi pers ini. “Ada 13 individu pemohon, semuanya terdampak langsung oleh PSN. Bahkan YLBHI sebagai lembaga bantuan hukum terganggu misinya akibat pasal-pasal ini. Lalu dibilang tidak punya kedudukan hukum? Ini bentuk pengabaian terhadap suara rakyat,” tegasnya.
YLBHI berharap Mahkamah Konstitusi tetap membuka ruang bagi rasionalitas hukum, argumentasi konstitusional, dan pembelaan terhadap hak warga. “Kami datang bukan sebagai pengganggu negara, tapi sebagai pengingat bahwa hukum tidak boleh tunduk pada kekuasaan dan modal,” tutup Isnur. (*)