KETIKA RFZ, seorang siswa kelas 5 SD di Kediri, Jawa Timur, koma selama tiga hari pada Juni 2025, keluarga dan guru-gurunya tak pernah menyangka penyebabnya adalah diabetes. Usianya baru 12 tahun, tubuhnya cenderung kurus, dan ia bukan anak yang doyan camilan manis secara berlebihan. Tapi diagnosis dokter menyatakan tegas dia mengidap diabetes tipe 1.
Selama ini, diabetes identik dengan orang dewasa, kerap dikaitkan dengan gaya hidup tidak sehat dan obesitas. Padahal anak-anak pun bisa mengalaminya. Bahkan, jenis diabetes yang menyerang anak bisa berbeda dari yang biasa dikenal masyarakat.
Diabetes Tipe 1 adalah jenis yang paling sering ditemukan pada anak-anak dan remaja. Ini adalah penyakit autoimun, di mana sistem kekebalan tubuh keliru menyerang sel beta pankreas yang memproduksi insulin. Tanpa insulin, tubuh tak bisa mengubah gula darah menjadi energi. Gejala awalnya sering kali tidak kentara: kelelahan, sering buang air kecil, haus berlebihan, dan penurunan berat badan yang tak bisa dijelaskan.
RFZ mengalami semua gejala itu. Namun karena tak ada riwayat diabetes dalam keluarga, orang tua dan gurunya tidak curiga. Hanya dalam beberapa hari, kondisinya memburuk hingga koma. Setelah dirawat intensif, RFZ kini menjalani pengobatan insulin empat kali sehari, serta menerapkan pola makan yang terkontrol ketat.
Berbeda dari tipe 1, diabetes tipe 2 kini juga mulai ditemukan pada anak-anak, terutama akibat meningkatnya kasus obesitas usia dini. Pada tipe ini, tubuh masih memproduksi insulin, tetapi sel-sel tubuh menjadi tidak sensitif terhadapnya. Akibatnya, kadar gula darah tetap tinggi. Gejalanya bisa mirip dengan tipe 1, namun berkembang lebih lambat. Anak dengan diabetes tipe 2 biasanya mengalami kelebihan berat badan, tekanan darah tinggi, atau memiliki keluarga dengan riwayat diabetes.
Ada pula diabetes tipe MODY (Maturity Onset Diabetes of the Young), meski lebih jarang. MODY adalah bentuk diabetes akibat kelainan genetik tunggal yang diwariskan. Berbeda dari tipe 1 dan 2, MODY biasanya tidak memerlukan insulin dan sering tidak terdeteksi sampai remaja atau dewasa muda, kecuali dilakukan pemeriksaan genetik. MODY kerap disalahartikan sebagai diabetes tipe 1 karena usia kejadiannya yang masih muda.
Membedakan jenis-jenis diabetes ini sangat penting, karena penanganannya berbeda. Tipe 1 memerlukan insulin seumur hidup. Tipe 2 bisa dikendalikan dengan perubahan gaya hidup dan obat-obatan. Sementara MODY memiliki pendekatan terapi yang sangat tergantung dari jenis mutasi gennya.
Sayangnya, minimnya pemahaman tentang diabetes pada anak membuat diagnosis sering terlambat. Menurut data Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), jumlah kasus diabetes tipe 1 pada anak meningkat dari tahun ke tahun. Anak-anak yang aktif dan tampak sehat bisa saja menyimpan potensi gangguan metabolik serius jika tidak dikenali sejak dini.
Pola konsumsi minuman manis juga memperparah situasi. RFZ sendiri mengaku biasa membeli minuman manis instan setiap hari di sekolah. Meskipun konsumsi gula tidak menyebabkan diabetes tipe 1 secara langsung, kebiasaan ini bisa memperburuk kontrol gula darah bagi mereka yang sudah terdiagnosis, dan memicu risiko diabetes tipe 2 pada anak-anak yang rentan. Menurut Riskesdas 2018, sekitar 61 persen anak-anak Indonesia mengonsumsi minuman bergula lebih dari sekali sehari.
Pendidikan kesehatan di sekolah dan rumah tangga menjadi kunci penting. Anak-anak perlu dibiasakan mengenali sinyal tubuh mereka sendiri, memahami pentingnya makan seimbang, dan tidak menganggap enteng rasa haus atau lemas yang tak biasa. Guru dan orang tua perlu memiliki pengetahuan dasar untuk mengidentifikasi gejala-gejala awal diabetes dan segera membawa anak ke tenaga medis.
Kisah RFZ adalah pengingat bahwa diabetes pada anak bukanlah hal langka lagi. Di balik suntikan insulin dan pantangan makanan, ada anak-anak yang berjuang menjalani hidup mereka seperti biasa. Semakin banyak kita mengenali jenis-jenis diabetes yang bisa menyerang anak, semakin cepat pula kita bisa membantu mereka bertahan dan tumbuh dengan sehat. (*)