JAKARTAMU.COM | Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) DKI Jakarta, Akhmad H. Abubakar, menyatakan antusiasme tinggi menyambut pendirian Bank Syariah Muhammadiyah (BSM). Bagi Akhmad, kehadiran BSM adalah bagian dari strategi besar Muhammadiyah untuk memperkuat fondasi ekonomi umat. Dengan nilai aset yang mencapai ratusan triliun, Muhammadiyah kini siap membawa semangat inklusi dan keadilan sosial ke ranah finansial formal.
Menurut data yang dikutip dari laporan World of Statistics pada Maret 2025, Muhammadiyah tercatat sebagai organisasi keagamaan Islam terkaya di dunia dengan total aset mencapai USD27,96 miliar atau setara dengan Rp454 triliun. Angka ini menempatkan Muhammadiyah di posisi keempat organisasi keagamaan terkaya secara global, dan yang tertinggi di antara seluruh organisasi Islam dunia.
Nilai ini mencakup lebih dari 21 ribu Amal Usaha Muhammadiyah (AUM), termasuk 172 perguruan tinggi, 5.345 sekolah, dan 440 pesantren; juga 122 rumah sakit, 231 klinik, 1.012 unit panti asuhan, serta 20.465 properti wakaf seluas 214 juta meter persegi.
Selama ini, AUM telah menjadi mesin keuangan penting Muhammadiyah. pemasukan berasal dari SPP juga operasional rumah sakit atau klinik, yang kemudian digulirkan kembali untuk kepentingan sosial . Bahkan, Muhammadiyah tercatat memindahkan dana sejumlah Rp15 triliun dari Bank Syariah Indonesia (BSI) pada tahun 2024 ke berbagai bank syariah, sebagai bagian dari strategi menjaga kemandirian finansial
Melihat pijakan ekonomi yang kokoh inilah, Abubakar berpendapat BSM memiliki tanggung jawab besar. Bank tersebut diharapkan mampu menyasar layanan langsung ke AUM serta jaringan internal Muhammadiyah—seperti sekolah, rumah sakit, dan lembaga sosial—untuk pembiayaan produktif, cash flow sehat, hingga pengembangan digitalisasi perbankan. Ia juga membayangkan BSM menjangkau masyarakat umum, khususnya kalangan menengah ke bawah yang selama ini sulit mendapat layanan keuangan sesuai syariah.
“Dengan jumlah aset dan potensi jaringan yang luas, BSM bisa menjadi motor penggerak ekonomi syariah di Indonesia. Ini bukan soal simbol, tapi soal skala nyata dan manfaat yang bisa dirasakan langsung,” ujar Abubakar.
Yang juga tak boleh hilang dari Muhamamdiyah adalah perhatiannya pada sektor mikro sebagaimana selama ini telah dilakukan. ”Kehadiran BSM tentu tidak boleh melupakan UMKM. Karena di sanalah ekonomi riil bergerak, dan di situlah ladang amal Muhammadiyah,” kata dia.
Sejalan dengan semua itu, Abubakar menekankan agar profesionalisme dan etika benar-benar dikedepankan dalam pengelolaan BSM. Karena aset Muhammadiyah sebagian besar dalam bentuk wakaf, properti, dan badan sosial, dia mengingatkan agar likuiditas dan manajemen risiko BSM dibangun dengan matang. Pada akhirnya, bank ini diharapkan dapat membantu masyarakat untuk menyetor modal usaha, bukan sekadar menarik pinjaman, menghadirkan arus modal baru bagi pemberdayaan ekonomi umat.