GEMURUH tepuk tangan panjang bergema di Teater Besar Taman Ismail Marzuki begitu adegan pemungkas pementasan drama kolosal Pangeran Jayakarta selesai, Senin (30/6/2025) malam. Selama dua jam penuh, para penonton disuguhkan pertunjukan yang memadukan seni teater, tari, dan musik secara megah, menghidupkan kembali sosok Pangeran Jayakarta sebagai tokoh perlawanan terhadap kolonialisme Belanda.
Antusiasme penonton tampak sejak awal hingga akhir pementasan. Tak sedikit yang larut dalam emosi saat adegan-adegan heroik dipentaskan, bahkan berdiri memberi aplaus panjang saat para pemain naik ke panggung untuk memberi salam penutup. Atmosfer sejarah yang kental berpadu dengan tata panggung dan pencahayaan yang cermat menjadikan pertunjukan ini sebagai pengalaman teater yang mengesankan.
Pementasan ini dihelat Pusat Pengkajian dan Pengembangan Islam Jakarta (PPIJ) atau Jakarta Islamic Centre (JIC) dalam rangka memeriahkan HUT ke-498 Kota Jakarta sekaligus Tahun Baru Islam 1447 Hijriah. Pertunjukan spektakuler ini pun mendapatkan apresiasi Wakil Gubernur DKI Jakarta Rano Karno, yang hadir membuka acara.
Rano berharap pertunjukan serupa dapat digelar lebih megah dengan lokasi pertunjukan yang lebih besar di tahun mendatang.

“Saya bangga dan bahagia kalau para alim ulama, para kiai sudah main drama. Atas nama Pemerintah Provinsi DKI Jakarta saya ucapkan terima kasih. Saya bangga dan bahagia kalau alim ulama, para kiai sudah main drama, hati saya bangga. Pak Gubernur titip salam. Maaf beliau tidak bisa hadir,” ungkap Rano kepada penonton yang memadati teater pertunjukan.
Sementara itu Wakil Kepala PPIJ KH Didi Supandi mengungkapkan kegiatan ini ini bagian dari syiar Islam mengenalkan para tokoh yang berperan berjuang mengusir penjajah.
“Saya berharap nilai dari cerita akan memperkuat semangat persatuan dan kesatuan membangun bangsa Indonesia, khususnya kota Jakarta. Pementasan Islam menyambut 1 Muharam ini memiliki nilai keselamatan. Sehingga kita bisa menjaga kebersamaan dan persatuan memajukan Indonesia khususnya Jakarta,” kata Kiai Didi.
Dalam kesempatan terpisah, Kepala Pusat Pengkajian dan Pengembangan Islam Jakarta (PPIJ), KH. Muhyiddin Ishak, memberikan arahan beberapa saat sebelum acara pementasan budaya digelar. Ia menekankan pentingnya kehadiran Jakarta Islamic Centre (JIC) agar semakin dirasakan oleh masyarakat di seluruh wilayah DKI Jakarta.
Menurut dia, JIC tidak hanya berperan sebagai pusat kegiatan keislaman, tetapi juga harus aktif menyentuh berbagai lapisan masyarakat melalui program-program budaya dan ekonomi syariah yang relevan. “Keberadaan JIC harus lebih membumi. Masyarakat harus bisa merasakan manfaat dan kehadiran kita, bukan hanya secara fisik, tetapi melalui nilai dan kegiatan yang langsung menyentuh kehidupan mereka,” ujarnya.
Sebagai informasi, pada tahun 2024 di tempat yang sama, JIC juga menggelar pertunjukan drama kolosal. Saat itu pertunjukan mengangkat kisah sejarah Syekh Subakir, seorang ulama Wali Sanga periode pertama yang menyebarkan Islam di bumi Nusantara.

Tahun ini kisah Pangeran Jakarta atau juga dikenal sebagai Fatahillah diangkat dengan sutradara Prof. Imam Sulewardho Bumiayu. Secara apik dia apik mengemas perjalanan perjuangan sang pangeran dalam menyebarkan dakwah Islam di tengah tekanan penjajahan.
Pangeran Jayakarta digambarkan sebagai sosok sentral yang menjadi buruan utama tentara penjajah karena kiprahnya dalam menyuarakan keadilan dan nilai-nilai Islam di wilayah Batavia. Kisah heroiknya dihidupkan kembali di atas panggung dengan tata artistik dan musikal yang kuat.
Pertunjukan ini juga menghadirkan Music Director H. Agus Suradika yang menambah kekayaan emosi dalam setiap adegan melalui komposisi musik bernuansa tradisional dan religius. Sementara itu, Ir. H. Sukri Karjono dipercaya sebagai Pimpinan Produksi, memastikan seluruh elemen pertunjukan berjalan dengan baik dan terorganisir.
Menariknya, peran tokoh Fatahillah dalam pentas ini dimainkan oleh Prof. Bunyamin, salah satu pimpinan Baznas Bazis DKI Jakarta yang juga wakil ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) DKI Jakarta. Turut serta dalam pertunjukan kolosal ini sejumlah para akademisi Jakarta di antaranya Edi Sukardi, Tadjuddin, Nurlina Rahman, Anita Damayanti, dan Lelly Qodariah.
Penulis: Dipo Khairul Islam