KOTA BHARU, JAKARTAMU.COM | Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Prof. Dr. Haedar Nashir, MSi menyerukan pentingnya memperkecil jurang perbedaan demi mempererat persaudaraan antara negara-negara serumpun seperti Indonesia dan Malaysia. Pesan ini ia sampaikan dalam kuliah umumnya di Gedung Perpustakaan Universiti Malaysia Kelantan (UMK), Senin (5/4/2025).
Dalam ceramah bertema Membangun Tamadun Islam Berkemajuan, Haedar mengajak hadirin untuk merefleksikan kedekatan historis dan kultural antara Indonesia dan Malaysia. Kedua bangsa ini, menurutnya, tidak hanya terhubung secara geografis dan linguistik melalui akar Melayu, tetapi juga berbagi iklim, nilai, dan pengalaman sejarah yang serupa.
“Kita bangsa serumpun. Bahasa, kawasan, dan iklim kita sama. Tapi karena perkembangan kenegaraan, masing-masing memiliki kekhasan. Justru dari situlah, kita harus tetap bersatu dan terus bergerak maju,” ujarnya.
Islam sebagai Landasan Peradaban
Haedar menekankan bahwa mayoritas penduduk di kedua negara adalah Muslim, dan oleh sebab itu, Islam memiliki peran sentral sebagai motor penggerak kemajuan bangsa. Islam bukan hanya bagian dari identitas, melainkan fondasi bagi pembangunan masyarakat dan tata kehidupan yang berkeadaban.
Menurutnya, nilai-nilai Islam yang tertuang dalam Al-Qur’an dan Sunnah sarat dengan semangat kemajuan. “Al-Qur’an dan Sunnah membawa ajaran yang menuntun umat menuju peradaban yang maju,” katanya.
Ia mengakui bahwa umat Islam kini menghadapi tantangan besar dalam menghidupkan kembali kejayaan peradaban setelah masa keemasan yang runtuh akibat kolonialisme Barat. Namun, Haedar optimistis kebangkitan itu bisa terwujud melalui kekuatan nilai Islam yang khas—berbeda dengan pandangan dunia Barat.
Perintah “Iqra’” dalam Islam, lanjutnya, tidak sekadar anjuran membaca, tetapi merupakan dasar peradaban ilmu yang membedakan umat Islam dari peradaban lain, seperti Yunani dan Romawi. “Iqra’ dalam Islam memuat ajakan perubahan dan pembebasan,” tambahnya.
Menggali Inspirasi dari Sejarah
Haedar mengingatkan bahwa sejarah telah membuktikan Islam pernah berada di garis depan peradaban dunia, bahkan ketika Barat masih terbenam dalam masa kegelapan. Oleh karena itu, ia mengajak umat Islam untuk kembali membaca sejarah dan menggali inspirasi dari kejayaan masa lalu.
“Jika ada yang meragukan peradaban Islam, mungkin ia belum membaca Al-Qur’an, Hadis, dan sejarah Islam. Bisa jadi, ia terlalu terpukau pada kemajuan bangsa lain,” ujarnya.
Haedar mengutip para ahli seperti Robert N. Bellah yang menyebut bahwa modernitas dalam ajaran Islam sejak awal justru menjadi alasan mengapa ia ditolak oleh masyarakat Arab yang masih tribal. Ia juga mengutip G. Levy della Vida yang menilai Islam menghadirkan masyarakat yang lebih kosmopolit dibandingkan Yunani dan Romawi.
Sayangnya, narasi Barat sering kali merekonstruksi sejarah seolah-olah masa kejayaan Islam hanya sekejap. Padahal, Barat sendiri ikut menikmati warisan keilmuan dan peradaban yang dibangun Islam selama berabad-abad.
Sebagai penutup, Haedar menekankan bahwa kunci utama kemajuan peradaban Islam terletak pada semangat tauhid, iman, ilmu, amal, ijtihad, dan tajdid. Nilai-nilai inilah yang mesti terus hidup dalam kehidupan umat agar Islam tak hanya bersatu, tetapi juga kembali berperan sebagai pelopor peradaban dunia.