DI sudut rumah kayu yang diterangi cahaya redup, Rifki, Hasan, dan Tegar masih duduk mengelilingi Budi Santoso. Kertas-kertas catatan yang diberikan Budi berserakan di hadapan mereka, berisi daftar nama, tanggal, dan modus operandi yang digunakan untuk mengambil alih tanah rakyat.
“Kita harus bergerak cepat,” Rifki berkata, suaranya dipenuhi urgensi. “Mereka bisa saja sudah tahu kita menemui Pak Budi.”
Budi menghela napas panjang, tatapannya tajam ke arah Rifki. “Mereka bukan orang bodoh. Kalau mereka merasa terancam, mereka tak akan tinggal diam.”
Hasan mengangguk setuju. “Lalu apa langkah selanjutnya? Bagaimana kita bisa membawa ini ke publik?”
Budi mengusap wajahnya. “Dulu aku punya seorang rekan di media, namanya Bagas. Dia dulu wartawan investigasi, tapi setelah beberapa kali menulis berita tentang proyek-proyek ilegal, dia diancam dan memilih mundur.”
Tegar bertanya, “Apakah dia masih bisa dipercaya?”
Budi mengangguk. “Dia orang yang jujur. Masalahnya, dia sekarang hidup dalam bayang-bayang. Sulit menemukannya.”
Rifki berpikir sejenak. “Kalau kita bisa menemukan Bagas dan menyebarkan informasi ini, mereka tak akan bisa lagi menyembunyikan kejahatan mereka.”
Hasan menghela napas. “Tapi kita juga harus siap dengan risikonya.”
Budi menatap mereka serius. “Risiko yang kalian hadapi bukan hanya ancaman. Bisa saja mereka menanam orang mereka di antara kita.”
Ketiganya saling pandang. Kata-kata Budi membuat mereka berpikir lebih dalam.
Di kantor Irwan, Heru duduk di seberang meja bosnya, wajahnya dipenuhi ekspresi puas.
“Sudah mulai beredar, Pak,” ucapnya.
Irwan menghembuskan asap rokoknya perlahan. “Bagus. Kita buat mereka kehilangan kepercayaan publik sebelum mereka bisa bergerak lebih jauh.”
Heru menyerahkan selembar kertas berisi tangkapan layar dari berbagai media sosial. Ada berita yang menyebut bahwa Rifki dan teman-temannya sebenarnya hanyalah kelompok oportunis yang ingin mendapatkan keuntungan pribadi dari proyek ini.
“Publik mulai ragu. Mereka berpikir anak-anak itu bukan pahlawan rakyat, tapi hanya mencari sensasi,” kata Heru sambil tersenyum licik.
Irwan mengangguk pelan. “Tapi itu belum cukup. Aku ingin mereka saling curiga satu sama lain.”
Heru menaikkan alisnya. “Maksud Bapak?”
Irwan tersenyum tipis. “Sebar desas-desus bahwa di antara mereka ada yang bekerja untuk kita. Buat mereka merasa ada pengkhianat di dalam kelompoknya.”
Heru tersenyum puas. “Saya akan urus.”
Di rumah Pak Dahlan, suasana mulai terasa panas. Sejumlah warga yang semula bersatu perlahan mulai menunjukkan keraguan mereka.
“Dari mana anak-anak itu mendapat informasi sebanyak itu?” seorang warga bertanya dengan nada curiga.
“Benar juga. Mungkinkah mereka sebenarnya bekerja untuk pihak perusahaan? Bisa saja mereka pura-pura melawan, tapi sebenarnya mereka hanya mencari uang,” tambah yang lain.
Pak Dahlan mengetuk meja kayunya dengan keras, menghentikan perdebatan. “Jangan mudah terpancing! Kita sudah terlalu banyak kehilangan untuk mulai meragukan satu sama lain.”
Hasan yang duduk di sudut ruangan mengepalkan tangannya. Ia sudah mendengar desas-desus ini sepanjang hari.
Rifki yang baru saja tiba segera berbicara, “Siapa yang menyebarkan isu ini? Kita sudah melawan mereka selama ini, dan sekarang kalian percaya bahwa kita bagian dari mereka?”
Seorang warga yang lebih tua menghela napas. “Bukan itu masalahnya, Rifki. Tapi kita harus hati-hati. Mereka punya banyak cara untuk memecah belah kita.”
Tegar menatap Hasan. “Jangan biarkan ini mempengaruhi kita. Kita tetap harus fokus pada tujuan kita.”
Namun dalam hati, keraguan mulai merayap di antara mereka.
Malam itu, Hasan diam-diam pergi ke luar rumah. Ia berjalan melewati gang sempit menuju sebuah rumah kecil di pinggir desa.
Di dalam, seorang pria bertubuh kekar menunggunya.
“Apakah mereka mulai curiga padamu?” pria itu bertanya.
Hasan menggeleng. “Belum. Tapi mereka mulai saling meragukan satu sama lain.”
Pria itu mengangguk pelan. “Bagus. Tetap buat mereka dalam ketidakpastian. Dan saat waktunya tiba, pastikan mereka tak bisa lagi percaya satu sama lain.”
Hasan menatap pria itu dengan ragu. “Aku tak suka cara ini.”
Pria itu menyeringai. “Kau tak punya pilihan, Hasan. Ingat siapa yang membayar keluargamu.”
Hasan mengepalkan tangannya, namun ia tak mengatakan apa-apa.
Keesokan harinya, Rifki dan Tegar duduk di depan rumah Pak Dahlan, membahas rencana selanjutnya.
“Kita harus menemukan Bagas secepatnya,” kata Rifki.
Tegar mengangguk. “Aku akan coba cari informasi tentang keberadaannya.”
Saat itulah Hasan datang, wajahnya terlihat sedikit gelisah.
“Kita punya masalah,” katanya.
Rifki menatapnya tajam. “Apa?”
Hasan menelan ludah. “Ada yang membocorkan keberadaan Pak Budi ke orang-orang Irwan.”
Rifki dan Tegar langsung berdiri.
“Kalau begitu, dia dalam bahaya,” ucap Rifki.
Tegar mengepalkan tangannya. “Kita harus segera menyelamatkannya sebelum mereka menemukannya.”
Mereka bertiga segera bergegas. Namun, mereka tak menyadari bahwa di antara mereka, ada seseorang yang telah menusuk mereka dari dalam. (*)
(Bersambung seri ke-15: Pengkhianatan di Ambang Pintu)