JAKARTAMU.COM | Prof. Dr. Zainun Kamal, Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah, mengatakan pemahaman teologi Asy‘ari termasuk dalam kategori teologi tradisional yang mengambil posisi di antara dua kutub ekstrem: kelompok rasionalis yang cenderung menggunakan pendekatan metaforis, dan kelompok tekstualis yang bersikap literal.
“Al-Asy‘ari menempatkan diri antara aliran Mu‘tazilah dan Salafiyah,” tulis Zainun Kamal dalam buku “Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah” bab “Kekuatan dan Kelemahan Paham Asyari sebagai Doktrin Akidah”.
Namun, kata Zainun Kamal, “benang merah” dari jalan tengah yang diambilnya tidak selalu tampak jelas. Pada satu waktu, ia cenderung mendukung pandangan Mu‘tazilah; di waktu lain, lebih dekat pada Salafiyah; dan pada saat lain lagi, mengompromikan pandangan keduanya.
Tentang Imam al-Asy‘ari
Nama asli Imam al-Asy‘ari adalah Ali ibn Ismail, dari keluarga Abu Musa al-Asy‘ari. Ia dikenal dengan panggilan Abu al-Hasan. Ia lahir di Bashrah pada tahun 260 H/875 M, bertepatan dengan wafatnya filsuf Muslim Arab, al-Kindi. Ia wafat di Baghdad pada tahun 324 H/935 M.
Sejak kecil, Abu al-Hasan belajar membaca, menulis, dan menghafal Al-Qur’an dalam asuhan orang tuanya, yang wafat ketika ia masih kecil.
Selanjutnya, ia belajar kepada para ulama Hadis, fikih, tafsir, dan bahasa, di antaranya kepada al-Saji, Abu Khalifah al-Jumhi, Sahal ibn Nuh, Muhammad ibn Ya‘kub, dan Abdurrahman ibn Khalf.
Ia juga belajar fikih Syafi‘i kepada Abu Ishaq al-Maruzi (w. 340 H/951 M), seorang tokoh Mu‘tazilah di Bashrah. Hingga usia 40 tahun, ia mengikuti ajaran gurunya, al-Jubba’i, serta aktif mempertahankan ajaran Mu‘tazilah.
Namun, pada tahun 300 H/915 M, dalam usia 40 tahun, Abu al-Hasan al-Asy‘ari meninggalkan ajaran Mu‘tazilah. Terdapat beberapa versi mengenai alasan keluarnya dari aliran tersebut.
Versi klasik menyebutkan bahwa perpisahannya dengan al-Jubba’i terjadi karena perbedaan pandangan dalam salah satu pokok ajaran Mu‘tazilah, yaitu mengenai “keadilan Tuhan”.
Mu‘tazilah berpendapat bahwa semua perbuatan Tuhan mengandung manfaat dan maslahat; Tuhan tidak menghendaki sesuatu kecuali yang bermanfaat bagi manusia, bahkan harus menghendaki yang terbaik. Pandangan ini dikenal dengan istilah al-shalah wa al-ashlah.
Dialog Antara Al-Asy‘ari dan Al-Jubba’i:
Al-Asy‘ari bertanya tentang tiga bersaudara yang meninggal: yang pertama bertakwa, yang kedua kafir, dan yang ketiga meninggal saat masih kecil. Al-Jubba’i menjawab bahwa yang bertakwa masuk surga, yang kafir masuk neraka, dan yang kecil selamat dari neraka.
Al-Asy‘ari kemudian bertanya, seandainya anak kecil itu ingin mendapatkan derajat lebih tinggi di surga, mungkinkah?
Al-Jubba’i menjawab tidak, karena ia belum melakukan ibadah. Lalu al-Asy‘ari mengusulkan skenario di mana anak kecil itu berkata, “Seandainya aku hidup lebih lama, aku akan melakukan kebaikan.”
Al-Jubba’i menjawab bahwa Tuhan mengetahui ia akan berbuat maksiat, maka kematiannya lebih maslahat baginya.
Kemudian al-Asy‘ari bertanya, bagaimana jika yang kafir berkata, “Engkau juga tahu aku akan kafir. Mengapa tidak menjagaku demi maslahatku?”
Al-Jubba’i tidak dapat menjawab (menurut versi lain ia hanya diam atau menyebut al-Asy‘ari “gila”).
Menurut Zainun Kamal, dialog ini tampaknya merupakan ilustrasi yang dibuat oleh pengikut al-Asy‘ari untuk menunjukkan superioritas logika al-Asy‘ari dibanding Mu‘tazilah.
Menurut Mu‘tazilah sendiri, anak kecil tidak akan memprotes keputusan Tuhan karena sadar bahwa tempatnya adalah adil.
Di akhirat, tidak ada perdebatan tentang keadilan Tuhan. Setiap orang mendapatkan balasan sesuai keadaannya: yang bertakwa mendapat surga, yang kafir mendapat neraka, dan anak kecil tidak disiksa.
Versi lain menyebutkan bahwa al-Asy‘ari meninggalkan Mu‘tazilah karena mengalami tiga mimpi bertemu Rasulullah SAW selama bulan Ramadan, masing-masing pada tanggal 10, 20, dan 30. Dalam mimpi tersebut, Rasulullah menyatakan bahwa mazhab ahli hadis adalah yang benar.
Diriwayatkan pula bahwa sebelum mengumumkan keluar dari Mu‘tazilah, al-Asy‘ari mengasingkan diri selama 15 hari. Setelah itu, ia pergi ke masjid, naik ke mimbar, dan menyatakan:
“Dulu saya mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk, Allah tidak dapat dilihat di akhirat, dan perbuatan jahat adalah perbuatan saya sendiri. Sekarang saya bertobat dari semua itu. Saya lepaskan keyakinan lama saya sebagaimana saya melepaskan jubah ini.”
Terlepas dari validitas historis cerita-cerita tersebut, kata Zainun Kamal, hal penting lainnya yang mendorong al-Asy‘ari keluar dari Mu‘tazilah adalah rasa skeptis dan ketidakpercayaannya terhadap kemampuan akal secara mutlak. Hal serupa juga dialami al-Ghazali di kemudian hari.
Baik al-Asy‘ari maupun al-Ghazali pernah berada dalam lingkaran pemikiran yang mereka kritik kemudian. Setelah belajar mendalam tentang filsafat dan Mu‘tazilah, keduanya merasa tidak puas, lalu melakukan kritik keras terhadapnya.
Al-Asy‘ari menyerang Mu‘tazilah dengan menyebut mereka sesat dan menyimpang; al-Ghazali menyebut para filsuf sebagai pelaku bid‘ah dan bahkan kafir.