Jumat, Juni 6, 2025
No menu items!

Pagar Laut yang Terlupakan (16): Kebenaran yang Terlambat

Must Read

LANGIT mulai memerah di ufuk timur ketika Rifki, Tegar, dan Budi masih berlindung di balik bebatuan di tepi pantai. Suara tembakan yang sebelumnya bersahutan kini mulai mereda, hanya menyisakan deburan ombak yang menyapu pasir dengan irama monoton.

“Kita harus segera pergi dari sini,” kata Tegar dengan suara pelan.

Budi menggeleng. “Aku tak sanggup berjalan jauh. Biarkan aku di sini, kalian cari bantuan.”

“Tidak mungkin, Pak,” Rifki membantah. “Mereka masih mencari kita.”

Mereka bertiga terdiam, merenungkan langkah selanjutnya. Hasan, yang memisahkan diri untuk mengalihkan perhatian para pengejar, masih menjadi tanda tanya. Apakah ia berhasil lolos, atau justru telah tertangkap?

Tegar menatap Rifki dengan tatapan penuh arti. “Kita harus cari tahu apa yang terjadi pada Hasan. Jika dia tertangkap dan mereka menyiksanya, kita dalam bahaya.”

Rifki menghela napas. “Tapi jika dia memang pengkhianat, bukankah lebih baik kita tidak kembali?”

“Tidak ada pilihan lain,” jawab Tegar tegas. “Kita tak bisa bergerak tanpa kepastian.”

Mereka akhirnya sepakat untuk kembali ke desa dengan hati-hati, tetap bersembunyi di balik pepohonan, menghindari jalan utama yang kemungkinan telah dikuasai orang-orang Irwan.

Di sebuah gudang tua di pinggiran desa, Hasan terduduk lemas dengan tangan terikat ke belakang. Wajahnya lebam dan darah segar mengalir dari sudut bibirnya. Di depannya, Heru duduk dengan tenang, mengisap rokok sambil tersenyum puas.

“Kau pikir kau bisa mempermainkan kami, Hasan?” tanya Heru sambil menghembuskan asap ke wajahnya.

Hasan hanya terdiam, menundukkan kepala.

“Kami sudah lama mengawasi kalian. Sejak awal, kami tahu ada perlawanan kecil yang coba kalian bangun. Tapi yang membuatku heran, kenapa kau berpihak pada mereka, padahal kau bisa hidup nyaman dengan kami?”

Hasan mendongak, menatap Heru dengan mata penuh kebencian. “Kau pikir aku bisa tinggal diam melihat kalian menghancurkan tanah ini? Mengusir orang-orang seperti binatang?”

Heru terkekeh. “Kau terlalu naif, Hasan. Dunia tak peduli pada idealismemu.”

Ia menepuk pundak Hasan dengan ringan, seolah-olah mereka adalah teman lama yang sedang bercanda.

“Omong-omong, aku punya tawaran,” lanjut Heru. “Berpihaklah pada kami, dan aku akan memastikan kau tetap hidup.”

Hasan tersenyum miris. “Kau pikir aku akan mengkhianati teman-temanku?”

“Kau sudah melakukannya,” sahut Heru cepat.

Hasan tersentak.

“Tanpa kau sadari, kau telah menjadi mata-mata kami sejak awal. Setiap gerakan yang kau laporkan kepada Rifki dan Tegar, sebenarnya sudah kami rancang agar kalian selalu selangkah di belakang,” lanjut Heru dengan nada mengejek.

Hasan merasakan sesuatu mencengkeram dadanya. Ia mengingat bagaimana selama ini mereka selalu terlambat bertindak, bagaimana setiap rencana mereka seolah sudah terbaca lebih dulu. Apakah benar ia telah menjadi alat bagi mereka?

Heru melihat ekspresi ragu di wajah Hasan dan tertawa kecil.

“Jangan khawatir. Aku tak akan membunuhmu sekarang. Aku ingin kau menyaksikan sendiri bagaimana teman-temanmu jatuh satu per satu. Mungkin setelah itu, kau akan sadar bahwa melawan kami adalah sia-sia.”

Ia memberi isyarat kepada anak buahnya untuk membawa Hasan pergi.

Sementara itu, Rifki dan Tegar berhasil kembali ke desa dengan menyusup melalui kebun-kebun warga. Mereka berhenti di dekat rumah kosong yang biasa digunakan sebagai tempat pertemuan rahasia.

“Kita harus pastikan desa aman sebelum bergerak,” bisik Tegar.

Rifki mengangguk, lalu melongok dari balik pagar kayu. Jalanan sepi, tapi ada sesuatu yang terasa janggal. Tak ada anak-anak bermain, tak ada suara ayam berkokok. Desa seolah membeku dalam ketakutan.

Mereka berjalan lebih jauh ke arah rumah Hasan. Di sana, mereka menemukan pintu rumah terbuka lebar dan isinya berantakan seperti habis digeledah.

“Mereka sudah tahu tentang Hasan,” gumam Rifki.

Tegar mengepalkan tangan. “Kita harus menemukannya sebelum terlambat.”

Saat itulah, seorang wanita tua bergegas mendekati mereka dengan wajah panik.

“Kalian harus pergi sekarang juga!” bisiknya.

“Ada apa, Bu?” tanya Rifki.

“Semalam, mereka menangkap beberapa orang. Mereka bilang siapa pun yang membantu kalian akan dianggap musuh,” jawab wanita itu dengan gemetar.

Rifki dan Tegar saling pandang. Situasi semakin buruk.

“Kami harus menemukan Hasan,” kata Tegar.

Wanita itu menggeleng keras. “Jangan! Mereka menunggunya sebagai umpan. Jika kalian mendekat, mereka akan menangkap kalian juga!”

Tegar terlihat ragu. “Tapi—”

Sebelum ia bisa menyelesaikan kalimatnya, suara sirene terdengar di kejauhan.

“Mereka datang!” wanita itu berbisik panik. “Cepat sembunyi!”

Di gudang tempat Hasan ditahan, Heru mendapat laporan melalui radio komunikasi.

“Pak, mereka melihat Rifki dan Tegar di desa. Sepertinya mereka menuju ke sini.”

Heru tersenyum. “Bagus. Biarkan mereka berpikir bahwa mereka bisa menyelamatkan Hasan. Aku ingin melihat sampai sejauh mana mereka berani bertindak.”

Ia berbalik ke arah Hasan yang masih terikat di kursi.

“Kau dengar itu? Teman-temanmu memang setia. Sayangnya, kesetiaan mereka hanya akan membawa mereka ke kematian.”

Hasan menatapnya dengan tajam. “Mereka tak akan menyerah.”

Heru terkekeh. “Aku justru berharap mereka tidak menyerah. Itu akan membuat permainan ini lebih menarik.”

Rifki dan Tegar berlari menuju tepi desa, menghindari jalan utama. Mereka tahu bahwa jika Hasan masih hidup, kemungkinan besar ia ditahan di salah satu gudang yang biasa digunakan para preman Irwan.

“Gudang tua di dekat dermaga,” Rifki berkata dengan napas tersengal. “Itu tempat yang paling mungkin.”

Tegar mengangguk. “Kita harus berhati-hati. Mereka pasti sudah menunggu.”

Mereka terus bergerak dalam bayang-bayang, mendekati tempat yang bisa menjadi akhir dari segalanya.

Di kejauhan, fajar mulai menyingsing, membawa cahaya ke desa yang masih diliputi ketakutan.

Namun, bagi Rifki dan Tegar, cahaya itu bukanlah harapan—melainkan peringatan bahwa mereka mungkin telah kehabisan waktu.

(Bersambung ke seri-17: Perangkap di Dermaga)

Pagar Laut yang Terlupakan (17): Perangkap di Dermaga

RIFKI dan Tegar tiba di dekat dermaga saat langit masih kelabu ketika. Mereka bersembunyi di balik tumpukan peti kayu...
spot_img
spot_img

More Articles Like This