SEKECIL apa pun amanah yang dipercayakan kepada kita kelak akan dimintai pertanggungjawaban, tak terkecuali soal dana umat yang masuk ke kas masjid. Jika muncul pertanyaan, soal boleh tidaknya uang kas masjid boleh digunakan untuk menunjang kegiatan operasional kurban, apa jawabannya?
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam Al-Qur’an:
﴿فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَٱنۡحَرۡ﴾
”Maka dirikanlah salat karena Tuhanmu; dan berkurbanlah.” (QS. Al-Kautsar: 2)
Ayat ini menegaskan bahwa berkurban adalah perintah Allah yang ditujukan secara individual. Ia adalah bagian dari bentuk pendekatan diri (taqarrub) kepada Allah. Meskipun hukumnya sunnah muakkadah menurut jumhur ulama, namun ada tekanan kuat bagi mereka yang memiliki kelapangan rezeki.
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
«عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ كَانَ لَهُ سَعَةٌ وَلَمْ يُضَحِّ، فَلَا يَقْرَبَنَّ مُصَلَّانَا»
“Barangsiapa yang memiliki kelapangan rezeki tetapi tidak berkurban, maka janganlah ia mendekati tempat salat kami.” (HR. Ahmad, Ibnu Majah, dan Hakim)
Hadis ini memberikan peringatan moral bahwa berkurban bukanlah hal remeh, apalagi bagi orang yang mampu. Namun jelas bahwa tanggung jawab kurban adalah milik masing-masing individu atau kelompok yang secara sukarela berpartisipasi. Ia tidak secara otomatis menjadi kewajiban masjid, kecuali masjid bertindak sebagai fasilitator.
Lalu bagaimana posisi kas masjid? Dalam tradisi Islam, dana masjid adalah bentuk wakaf dan infak dari jamaah yang peruntukannya bersifat umum. Misalnya, untuk pemeliharaan sarana ibadah, mendukung kegiatan dakwah, pendidikan, sosial kemasyarakatan, dan pelayanan umum jamaah.
Mengalihkan kas masjid untuk kebutuhan lain yang tidak secara langsung disepakati dalam rapat atau musyawarah jamaah, walau dalam bingkai ibadah seperti kurban, tetap memerlukan kehati-hatian. Jika penggunaan kas masjid dilakukan tanpa musyawarah dan transparansi, maka bisa tergolong sebagai bentuk ghulul (pengkhianatan amanah), sebagaimana dalam firman Allah:
﴿وَمَن يَغۡلُلۡ يَأۡتِ بِمَا غَلَّ يَوۡمَ ٱلۡقِيَٰمَةِۚ﴾
”Barang siapa berkhianat dalam urusan rampasan perang, maka pada hari kiamat dia akan datang dengan membawa apa yang dia khianati itu.” (QS. Ali Imran: 161)
Betapa berat ancaman Allah bagi mereka yang menyalahgunakan harta umat, bahkan jika niatnya baik sekalipun. Karena dalam Islam, niat baik tak membenarkan cara yang salah. Penggunaan dana masjid harus melalui prosedur kolektif dan keputusan syura (musyawarah), sebagaimana spirit Al-Qur’an:
﴿وَأَمۡرُهُمۡ شُورَىٰ بَيۡنَهُمۡ﴾
”Dan urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah di antara mereka.” (QS. Asy-Syura: 38)
Dalam konteks kurban, yang dibolehkan dari kas masjid hanyalah penggunaan untuk kebutuhan operasional, seperti honor panitia, logistik acara, penyewaan alat, atau konsumsi—dan itupun hanya jika telah disepakati dalam rapat resmi takmir atau jamaah. Tidak diperbolehkan menggunakan dana kas untuk membeli hewan kurban secara langsung, karena itu telah mengaburkan batas antara ibadah individual dan amanah kolektif.
Lalu bagaimana dengan dana zakat yang dikelola oleh LAZIS (Lembaga Amil Zakat, Infak, dan Sedekah)? Zakat memiliki aturan sendiri yang lebih ketat. Dana zakat hanya boleh disalurkan kepada 8 golongan penerima (asnaf) sebagaimana difirmankan Allah:
﴿إِنَّمَا ٱلصَّدَقَٰتُ لِلۡفُقَرَآءِ وَٱلۡمَسَٰكِينِ وَٱلۡعَٰمِلِينَ عَلَيۡهَا وَٱلۡمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمۡ وَفِي ٱلرِّقَابِ وَٱلۡغَٰرِمِينَ وَفِي سَبِيلِ ٱللَّهِ وَٱبۡنِ ٱلسَّبِيلِۖ فَرِيضَةٗ مِّنَ ٱللَّهِۗ﴾
“Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, miskin, pengurus zakat, muallaf, memerdekakan budak, orang yang berhutang, untuk jalan Allah, dan untuk musafir yang kehabisan bekal.” (QS. At-Taubah: 60)
Maka tidak boleh pula dana zakat dipakai untuk kegiatan operasional kurban, karena itu keluar dari delapan asnaf. Pun dana infaq dan sedekah tetap harus mengindahkan prinsip transparansi dan akuntabilitas.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kas masjid tidak boleh digunakan untuk operasional kurban tanpa musyawarah dan persetujuan jemaah. Penggunaannya pun harus tercatat, terlapor, dan tidak mengganggu fungsi utama kas masjid. Kurban adalah ibadah individual, dan masjid adalah fasilitator yang tidak menggantikan tanggung jawab pribadi jemaah.
Karena itu, sebaiknya dibuka donasi khusus untuk operasional kurban dengan secara terbuka mengumumkan logistik yang dibutuhkan panitia. Wallahu a’lam. (*)