Minggu, Juli 6, 2025
No menu items!

Dua Luka dalam Satu Atap (6): Hari Saat Aku Mulai Menyerah

Must Read

ADA hari-hari yang datang tanpa aba-aba, membawa rasa pasrah yang tak lagi bisa kau sangkal. Hari ini, entah kenapa, aku merasa sudah terlalu letih menggenggam apa pun. Bahkan marah pun tak lagi menggelegak ia hanya menjadi gumaman yang tak ingin keluar dari kerongkongan.

Pagi itu, saat kau berjalan keluar kamar, matamu kosong. Sama kosongnya dengan meja makan yang tak lagi punya sisa percakapan. Kau hanya mengambil jaket, menunduk, lalu berbisik, “Aku pergi dulu.”
Tidak ada peluk. Tidak ada tatapan yang memeriksa apakah aku baik-baik saja. Dan lebih menyedihkan lagi, aku pun tak merasa ingin bertanya kau akan ke mana.

Setelah pintu menutup, aku berdiri di ruang tamu, memandangi jam dinding yang terus berdetak. Detak yang semakin hari terdengar seperti ejekan: kau masih di sini, tapi jiwamu sudah pergi. Rumah ini masih berdiri, tapi hatinya sudah retak.

Aku menarik napas panjang, lalu berjalan ke dapur. Menyeduh secangkir kopi untuk diriku sendiri. Dulu, aku selalu membuat dua cangkir. Bahkan ketika kita sedang bertengkar, aku tak pernah lupa menyiapkan untukmu. Mungkin itulah definisi cinta yang pelan-pelan membunuh: merawat kebiasaan meski tak lagi dibutuhkan.

Di antara uap kopi, aku menatap sudut meja tempat kita dulu menyimpan daftar belanja bulanan. Selembar kertas yang penuh coretan: kebutuhan rumah, biaya sekolah anak, rencana menabung liburan yang tak pernah terwujud. Sekarang kertas itu sudah menguning, setengah sobek, seakan tak sudi jadi saksi kesia-siaan.

Aku mencoba membereskan meja, padahal tak ada yang berantakan. Hanya ritual kecil untuk menipu hatiku bahwa aku masih bisa mengendalikan sesuatu. Padahal satu-satunya yang tak pernah bisa kutata ulang adalah perasaan ini—rindu yang tak lagi punya alamat.

Siang menjelang, aku menulis lagi di kertas baru. Bukan surat panjang seperti kemarin. Hanya kalimat pendek:

Aku mulai lelah.

Kalimat itu kugulung, kuselipkan di bawah kotak kunci. Aku tak yakin akan kuberi padamu. Tapi setidaknya aku telah mengaku pada diriku sendiri: inilah hari saat aku mulai menyerah.

Menyerah bukan berarti berhenti mencintaimu. Aku menyerah pada ilusi bahwa rumah ini masih bisa pulih. Aku menyerah pada kepura-puraan kita berdua. Dan yang lebih pahit, aku menyerah pada diriku sendiri—perempuan yang selalu berusaha, selalu sabar, selalu menunggu.

Sore datang dengan hujan rintik. Jendela berkabut oleh embun, membuat halaman depan tampak buram. Sama buramnya dengan masa depan yang dulu kita lukis dengan warna-warna cerah.
Saat lampu-lampu rumah tetangga mulai menyala, aku duduk di lantai ruang tamu. Punggungku bersandar di sofa. Mata menatap pintu yang entah kapan akan kau buka lagi.

Kupikir, andai cinta itu rumah, maka rumah ini sudah lama ditinggalkan penghuninya. Yang tersisa hanya dinding berdebu dan kursi kosong.

Langkahmu baru terdengar menjelang malam. Kau masuk tanpa salam. Jaket basah menggantung di lengan. Aku tak bertanya apa-apa. Kau pun tak menjelaskan. Begitulah kita kini—dua orang yang tak lagi saling menyapa, hanya menukar sunyi setiap hari.

Aku bangkit, mengambil handuk kecil, menawarkannya padamu. Kau menerimanya tanpa menatapku. Gerakanmu kaku. Tatapanmu hambar. Aku hampir berharap kau memaki, atau membentak. Setidaknya kemarahan itu bisa kubalas. Tapi ketidakpedulianmu lebih sunyi dari kebencian. Dan lebih menakutkan.

Malam makin larut. Kau duduk di sofa, menunduk pada layar ponsel. Aku tahu siapa yang kau hubungi. Tapi aku tak ingin lagi memastikan. Aku terlalu letih. Terlalu letih untuk cemburu, terluka, apalagi meratap.

Aku berjalan ke kamar, mematikan lampu. Dalam gelap, aku menangkap bayangan diriku di cermin—sosok perempuan yang sudah menyerah, tapi masih tinggal di rumah yang tak lagi memanggilnya pulang.

Sebelum berbaring, aku menarik selimut tinggi-tinggi, menutupi separuh wajah. Jika malam ini kau pulang lebih dulu dari lamunanmu, kau mungkin hanya melihat kepala yang setengah tenggelam. Dan barangkali, kau akan berpikir aku sudah tidur. Padahal aku hanya bersembunyi.

Karena pada akhirnya, semua perempuan yang tersakiti hanya punya dua pilihan: pergi atau sembunyi.
Dan malam ini, aku memilih yang kedua.

(Bersambung seri ke-7: Hujan yang Tak Pernah Reda)

Milad Ke-23 Lazismu, Merajut Asa untuk Kesejahteraan Semua

JAKARTAMU.COM | Setiap langkah, setiap program, dan setiap senyum penerima manfaat adalah buah dari kepercayaan para muzakki dan kerja...

More Articles Like This