TAK semua luka butuh darah untuk membuktikan keberadaannya. Ada luka yang begitu dalam, ia hanya tampak dari cara seseorang duduk terlalu lama dalam diam, atau dari mata yang tak lagi berbinar saat mendengar namamu.
Dan itulah aku, pagi ini. Duduk sendiri di meja makan dengan pena di tangan, kertas kosong di depan mata, dan dada penuh kalimat yang tak sanggup diucap. Maka kutuliskan saja semuanya, meski mungkin surat ini tak akan pernah sampai.
Kepada suamiku yang kian asing,
Kau tahu, ada masa-masa ketika aku tak meminta banyak. Hanya kabar kecil saat kau lembur. Sekadar genggaman tangan saat kita duduk berdua menonton berita. Tapi waktu demi waktu, kau berhenti memberi. Aku pun berhenti berharap.
Kau bilang kau lelah. Tapi pernahkah kau berpikir, aku pun lelah? Bukan karena pekerjaan, tapi karena memikirkan cara-cara agar aku tetap menjadi perempuan yang kau inginkan. Aku mencoba. Tapi tampaknya, aku tak pernah cukup.
Kini aku seperti kursi tua di rumah ini: tidak rusak, tapi tak lagi dipakai. Ada, tapi tak berarti.
Aku berhenti menulis. Napasku tercekat. Di luar, matahari mulai naik, tapi udara tetap dingin. Seolah alam pun ikut mendiamkan luka yang tak bisa diceritakan.
Kau pergi pagi itu tanpa kata. Hanya suara pintu yang menutup pelan. Suara yang dulunya biasa, kini terdengar seperti aba-aba pengabaian.
Aku menyimpan surat itu di laci. Di antara kuitansi belanja, catatan dokter, dan foto kita saat merayakan ulang tahun pernikahan keempat. Wajah kita tertawa di atas lilin berbentuk angka. Tapi senyum itu kini seperti topeng yang tertinggal di masa lalu.
Hari berlalu. Aku mencoba tetap sibuk. Menyiram tanaman yang daunnya mulai menguning. Membersihkan debu di rak buku. Menyortir pakaian lama yang sudah tak kau pakai lagi. Aku menemukan dasimu yang dulu sering kau pakai ke kantor. Warnanya biru laut, hadiahku lima tahun lalu.
Dasi itu masih wangi—bukan seperti wangi parfum asing itu, tapi wangi rumah. Wangi masa lalu.
Aku mengambilnya, memeluknya. Lalu menangis diam-diam. Karena kadang, hal kecil yang kau temukan di lemari bisa lebih menyakitkan daripada kalimat kasar yang sengaja dilontarkan.
Sore itu aku menerima telepon dari anak kita. Suaranya ceria, seperti biasa. Tapi di tengah percakapan, dia bertanya dengan polos, “Ibu, Ayah kenapa jarang bicara akhir-akhir ini?”
Aku tercekat. Ingin menjawab bahwa ayahnya sedang sibuk. Tapi aku tahu, anak-anak tak mudah dibohongi. Mereka bisa merasakan yang tak diucapkan.
“Kami hanya sedang banyak pekerjaan,” kataku akhirnya. Sebuah dusta lembut yang kubungkus agar tak melukai.
Malamnya, aku berjalan ke kamar. Di atas meja rias, surat itu masih ada. Kutatap tulisan tanganku sendiri. Huruf-hurufnya rapi, tapi setiap barisnya menggambarkan kepedihan yang tak bisa dibaca siapa pun.
Aku membuka laci, menyisipkan surat itu di antara kemeja-kemejamu. Entah agar suatu hari kau menemukannya, atau sekadar agar aku merasa telah berkata sesuatu.
Dan malam pun turun perlahan.
Kau belum pulang. Aku tak menanyakan kabar. Aku bahkan tak ingin tahu di mana kau berada. Yang kutahu, ruang ini semakin lengang.
Listrik sempat mati beberapa menit. Dalam gelap, aku menyalakan lilin. Cahaya kecilnya menari di dinding, menciptakan bayangan diriku sendiri.
Sendirian. Tapi lebih sunyi dari sekadar sendiri.
Lilin itu perlahan mencair. Seperti hatiku yang tak lagi bisa membeku meski dipaksa kuat. Di rumah ini, yang tersisa bukan cinta, tapi kenangan.
Dan dalam diam, aku bertanya pada diriku sendiri:
Apa yang lebih menyakitkan—ditinggalkan secara tiba-tiba, atau ditinggalkan perlahan, dalam diam, tapi setiap hari?
(Bersambung seri ke-6: Hari Saat Aku Mulai Menyerah)