Minggu, Juli 20, 2025
No menu items!

Dua Luka dalam Satu Atap (20-Tamat): Pulang yang Tak Sama Lagi

Must Read

PAGI itu, hujan turun seperti kabar lama yang datang lagi. Lembut, tapi cukup membuat daun jendela bergetar. Aku berdiri di ambang pintu kamar, memandangi halaman yang becek. Jemuran ibu tergantung setengah basah, meneteskan air ke tanah merah yang beraroma nostalgia.

Hari ini, aku memutuskan pulang.

Bukan karena semuanya sudah sembuh. Bukan karena luka sudah lenyap. Tapi karena aku tak mau lagi menggantung segala jawaban dalam jeda yang tak berkesudahan.

Ibu membantu menyiapkan barang. Tangannya cekatan, tapi matanya berkali-kali menatapku, seakan ingin memastikan aku sungguh siap.

“Kamu yakin?” tanyanya, suara pelan tapi penuh rasa sayang.

Aku mengangguk. “Aku harus mencoba. Kalau tak kucoba, aku akan terus bertanya-tanya.”

Ibu hanya menarikku dalam pelukan. Hangat. Lama. Pelukan yang tak pernah memaksa, tak pernah mendesak.

Sebelum pergi, aku berdiri di tepi kamar masa kecilku, menatap sekeliling. Ada begitu banyak kenangan di dinding-dinding itu masa saat segalanya sederhana, sebelum cinta dan luka menjadi begitu rumit.

Langkahku menuruni teras pelan-pelan, menjejak tanah basah yang licin. Hatiku berdegup pelan, bukan takut, tapi semacam perasaan rawan yang tak bisa kutolak.

Perjalanan menuju rumah kita seperti perjalanan pulang yang tak kukenal lagi. Semua tampak akrab sekaligus asing. Pohon flamboyan di tikungan gang, toko kelontong di ujung jalan, cat pagar hijau yang mulai mengelupas.

Aku berdiri di depan pintu rumah. Lama.

Dalam diam itu, aku mencoba mengukur keberanian. Apakah aku datang untuk benar-benar pulang? Atau hanya untuk menutup bab lama sebelum menulis cerita baru?

Kupetik kunci dari tas, menatapnya sejenak. Dulu, kunci ini kubawa dengan rasa memiliki yang besar. Hari ini, rasanya hanya sepotong logam tak bernyawa.

Perlahan, pintu kubuka.

Udara lembap menyergap wajahku. Bau rumah yang kosong, bercampur sedikit aroma kayu lapuk.

Kau duduk di ruang tamu. Menoleh begitu mendengar langkahku.

Mata kita bertemu. Lama.

Tak ada kata yang keluar. Hanya napas yang ditahan, hanya dada yang seakan pecah oleh sesuatu yang tak bisa dinamai.

Aku berjalan pelan, meletakkan tas di lantai. Kau berdiri. Tanganmu terangkat sedikit, seakan ingin memelukku. Tapi kau urung.

Aku menghela napas. “Aku… pulang,” kataku akhirnya. Suaraku sendiri terdengar asing.

Kau menunduk. “Terima kasih sudah kembali.”

Aku ingin bilang bahwa ini bukan kembali yang kau bayangkan. Ini bukan pulang yang sama seperti dulu. Karena aku tak lagi bisa pura-pura tak terluka, tak bisa lagi menjadi perempuan yang selalu mengalah.

Di dalam rumah itu, ada ruang-ruang yang masih penuh tanya. Ada meja makan yang pernah jadi saksi keheningan paling panjang. Ada ranjang yang menyimpan sisa-sisa jarak yang tak terjembatani.

Aku berjalan menelusuri ruangan satu per satu, mencoba berdamai dengan kenangan. Jemariku menyentuh sandaran kursi, gagang pintu, bingkai foto lama. Semua masih di tempatnya, tapi tak lagi sama.

Dan mungkin memang begitu cara pulang bekerja. Ia bukan tentang kembali ke tempat yang persis sama. Tapi tentang menyiapkan hati menerima bahwa tempat itu sudah berubah dan kita pun sudah berubah.

Kau mendekat, menatapku dengan mata yang tak sanggup menyembunyikan penyesalan. “Boleh aku memelukmu?” tanyamu, suara bergetar.

Aku terdiam lama.

Dalam diam itu, aku sadar: aku masih mencintaimu. Tapi aku tak ingin mencintai dengan cara yang dulu cara yang membuatku kehilangan diriku sendiri.

Perlahan, aku mengangguk. Kau melangkah, merengkuhku dalam pelukan yang lama tak kita bagi. Rasanya tak sama. Ada hangat, tapi juga kehati-hatian. Ada rindu, tapi juga jarak yang tak bisa sepenuhnya sirna.

Dan aku menerima itu.

Karena pulang ini bukan tentang memulai dari awal. Bukan tentang melupakan luka. Tapi tentang berdiri berdampingan dua orang yang pernah saling melukai, kini belajar saling menjaga lagi, meski tak yakin akan berhasil.

Malam turun. Lampu ruang tamu menyala kuning. Kita duduk di sofa, tak bicara banyak. Hanya saling menatap, saling mencari secuil keberanian untuk mencoba.

Dan di antara senyap itu, aku berbisik dalam hati:

Pulang yang tak sama lagi pun tetap pulang.

Dan untuk kali ini, itu cukup.

( Tamat )

Aisyiyah DKI Jakarta: Siaga Bencana Harus Menjadi Budaya Masyarakat

JAKARTAMU.COM | Mendorong kesadaran dan kesiapsiagaan bencana sebagai bagian dari budaya hidup masyarakat menjadi komitmen yang dipegang teguh Pimpinan...

More Articles Like This