JAKARTAMU.COM | Pekan itu, suasana di Tanah Haram masih padat. Jemaah dari berbagai penjuru kembali dari Arafah dan Mina. Sebagian bersiap pulang, sebagian lainnya menyelesaikan thawaf ifadhah—salah satu rukun haji yang tak bisa ditinggalkan.
Di tengah kesibukan itu, sebuah persoalan diajukan kepada Abdullah bin Abbas, ulama muda Quraisy yang dikenal luas akan kecerdasannya. Sekelompok warga Madinah bertanya tentang seorang perempuan yang telah selesai thawaf ifadhah, namun tiba-tiba mengalami haid sebelum meninggalkan Mekah. Bolehkah ia pulang?
“Pergilah dia bersama orang-orang,” jawab Ibnu Abbas mantap.
Namun warga Madinah menolak. “Kami tidak mengambil pendapatmu dan membiarkan perkataan Zaid,” kata mereka, merujuk pada Zaid bin Tsabit, sahabat senior yang juga dikenal sebagai juru tulis wahyu Nabi.
Ibnu Abbas tak gentar. Ia tahu bahwa dalam sejarah Islam awal, perbedaan pandangan antar sahabat bukan hal baru. Ia pun menantang mereka dengan tenang, “Kalau kalian sudah sampai di Madinah, tanyakanlah masalah ini.”
Sesampainya di Madinah, warga Madinah melaksanakan anjuran Ibnu Abbas. Mereka bertanya kepada para sahabat lainnya, termasuk Ummu Sulaim, sahabat perempuan yang dikenal dekat dengan keluarga Nabi.
Jawaban Ummu Sulaim membawa riwayat penting: saat ibunda kaum mukmin, Shafiyyah binti Huyay, istri Rasulullah saw., mengalami hal serupa, Nabi tetap mengizinkannya pulang karena ia telah menyelesaikan thawaf ifadhah lebih dulu. “Berangkatlah kamu bersama yang lainnya,” kata Nabi, sebagaimana diriwayatkan dalam Shahih Bukhari dan Muslim.
Fatwa Ibnu Abbas pun terbukti selaras dengan praktik Nabi. Perkataannya yang semula ditolak, kini mendapatkan konfirmasi dari sabda Rasulullah sendiri.
Antara Fikih dan Tradisi
Perselisihan ini tidak berhenti pada satu kasus hukum semata. Ia memperlihatkan bagaimana tafsir hukum berkembang di antara para sahabat, bahkan di antara mereka yang paling dekat dengan Nabi. Zaid bin Tsabit, yang menjadi rujukan awal warga Madinah, kemungkinan besar mengaitkan kebolehan pulang dengan status suci dari haid secara umum—sebagaimana aturan dalam ritual haji yang ketat.
Namun Ibnu Abbas memilih pendekatan yang lebih tekstual dan historis: mendasarkan fatwanya pada kejadian konkret yang dialami istri Nabi sendiri. Di titik ini, Ibnu Abbas menunjukkan kecenderungan metode istidlal (penarikan hukum) berbasis hadis riil, bukan asumsi fiqih normatif.
“Beliau mengedepankan peristiwa yang memiliki preseden langsung dari Nabi, bukan hanya penalaran logis,” ujar seorang dosen tafsir di UIN Syarif Hidayatullah, menanggapi riwayat tersebut.
Metodologi ini sejalan dengan reputasi Ibnu Abbas yang dikenal luas sebagai penafsir Al-Qur’an dan hadis dengan pendekatan naratif-historis. Dalam banyak kasus, ia kerap menghidupkan kembali peristiwa Nabi sebagai basis penetapan hukum.
Perbedaan yang Menghidupkan
Riwayat ini juga mencerminkan dinamika ilmiah dalam kalangan sahabat. Bahwa perbedaan bukanlah perpecahan, melainkan dialektika pemahaman. Ibnu Abbas, meski muda saat itu, berani menyanggah tokoh sekelas Zaid bin Tsabit. Bahkan ia menantang pengikut Zaid untuk menguji pandangannya di Madinah—sebuah ekspresi kepercayaan diri atas kebenaran pendapatnya.
Di sisi lain, warga Madinah juga menunjukkan karakter khas masyarakat Hijaz waktu itu: patuh kepada ulama lokal, namun tetap terbuka pada klarifikasi. Ketika sabda Nabi menjadi acuan, tidak ada lagi yang bisa menyangkal. Maka putusan kembali kepada Rasulullah: bila thawaf ifadhah telah selesai, haid tidak lagi menjadi halangan untuk meninggalkan Mekah.
Menarik bahwa konfirmasi akhir datang dari Ummu Sulaim—seorang sahabat perempuan. Dalam struktur sosial Arab yang patriarkis kala itu, keterlibatan perempuan sebagai otoritas hadis adalah sesuatu yang luar biasa. Ini bukan satu-satunya kasus. Dalam banyak periwayatan lain, perempuan seperti Aisyah, Hafsah, hingga Ummu Salamah menjadi sumber utama informasi keagamaan.
Kesaksian Ummu Sulaim bukan hanya menegaskan fatwa Ibnu Abbas, tetapi juga menunjukkan bahwa otoritas keilmuan pada masa sahabat tidak eksklusif milik lelaki. Dalam hal pengalaman ritual dan kedekatan dengan kehidupan rumah tangga Nabi, para sahabat perempuan justru memegang data penting yang sering dilupakan para ahli fiqih belakangan.
Warisan Perbedaan
Perbedaan pandangan antara Ibnu Abbas dan Zaid bin Tsabit menjadi salah satu contoh klasik dalam khazanah hukum Islam. Ia menunjukkan bahwa fatwa bukanlah keputusan tunggal yang mutlak, melainkan hasil dari pergulatan intelektual, konteks sosial, dan, yang paling penting, kesetiaan terhadap sunnah Nabi.
Ibnu Abbas boleh jadi dianggap “berani” menantang pendapat yang lebih mapan. Namun keberaniannya didasarkan pada data, bukan sekadar opini. Ia mengajarkan bahwa dalam fikih, ketegasan berpijak pada sabda Nabi lebih penting daripada tunduk pada suara mayoritas.
Dan di situlah letak kekuatan Islam sebagai peradaban ilmu: membuka ruang ijtihad, menjunjung adab debat, dan berpulang pada suara Rasul sebagai kata akhir. (*)