HIDUP tidak pernah menjadi lintasan lurus tanpa rintangan. Ia adalah jalan panjang yang menuntut kesabaran, kelapangan dada, dan keberanian untuk terus belajar dari segala kejadian yang menimpa. Dalam luka, kita memahami empati. Dalam salah, kita belajar makna memperbaiki diri. Dan dalam memaafkan, kita tumbuh sebagai manusia sejati.
Hidup adalah proses belajar yang tak pernah selesai. Setiap hari adalah madrasah, setiap kesalahan adalah pelajaran, dan setiap luka adalah ujian kedewasaan. Tidak ada manusia yang luput dari salah, sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ:
كُلُّ ابْنِ آدَمَ خَطَّاءٌ، وَخَيْرُ الْخَطَّائِينَ التَّوَّابُونَ
“Setiap anak Adam pasti banyak melakukan kesalahan, dan sebaik-baik orang yang bersalah adalah yang mau bertobat.” (HR. Tirmidzi no. 2499)
Kesalahan adalah bagian dari kodrat insani. Namun, yang membuat hidup ini bermakna adalah ketika kita mampu belajar dari kesalahan itu, bukan menenggelamkan diri dalam penyesalan, apalagi menyalahkan takdir. Allah ﷻ membuka lebar pintu taubat bagi siapa pun yang ingin memperbaiki diri:
قُلْ يَا عِبَادِيَ ٱلَّذِينَ أَسْرَفُوا۟ عَلَىٰٓ أَنفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا۟ مِن رَّحْمَةِ ٱللَّهِ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ يَغْفِرُ ٱلذُّنُوبَ جَمِيعًا ۚ إِنَّهُۥ هُوَ ٱلْغَفُورُ ٱلرَّحِيمُ
Katakanlah, “Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kalian berputus asa dari rahmat Allah. Sungguh, Allah mengampuni seluruh dosa. Dia Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS. Az-Zumar: 53)
Dalam kehidupan, seringkali kita melukai orang lain tanpa sadar. Begitu juga sebaliknya, kita pun terluka oleh perlakuan sesama. Tapi inilah ruang paling luas untuk menanam kebaikan: ruang memaafkan. Memaafkan bukanlah kelemahan, melainkan kekuatan ruhani yang agung. Bahkan Allah memuji hamba-Nya yang mampu menahan amarah dan memaafkan:
وَٱلْكَٰظِمِينَ ٱلْغَيْظَ وَٱلْعَافِينَ عَنِ ٱلنَّاسِ ۗ وَٱللَّهُ يُحِبُّ ٱلْمُحْسِنِينَ
“…dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan kesalahan orang lain. Allah mencintai orang-orang yang berbuat kebajikan.” (QS. Ali ‘Imran: 134)
Rasulullah ﷺ adalah teladan tertinggi dalam hal memaafkan. Ketika beliau berhasil menaklukkan Makkah, dan para musuh yang dahulu menyakitinya berdiri ketakutan di hadapannya, beliau tidak membalas dendam. Dengan penuh kelembutan, beliau bersabda:
لَا تَثْرِيبَ عَلَيْكُمُ الْيَوْمَ، اذْهَبُوا فَأَنْتُمُ الطُّلَقَاءُ
“Tidak ada cercaan atas kalian hari ini. Pergilah, kalian semua bebas.” (HR. Baihaqi dalam Dala’il An-Nubuwwah, sanad hasan)
Sikap seperti itu bukanlah sikap orang lemah. Justru, memaafkan dalam posisi mampu membalas adalah tanda kematangan iman dan kejernihan hati. Dalam kehidupan kita sehari-hari, seringkali ego menjerat dan gengsi membelenggu. Kita merasa paling benar, lalu berat untuk minta maaf ataupun memberi maaf. Padahal hakikat hidup bukan soal menang dan kalah, tapi tentang bagaimana kita belajar, memperbaiki, dan tumbuh dalam cinta yang diridhai Allah.
Sebagaimana yang tertulis dalam kutipan: “Semua orang pernah salah langkah, keliru mengambil keputusan, atau gagal memahami sudut pandang.” Maka jangan buru-buru menghakimi. Berikan ruang pada diri dan orang lain untuk belajar dari kesalahan. Kita bukan malaikat yang suci, juga bukan iblis yang membangkang. Kita manusia tempat salah dan lupa, namun punya peluang besar untuk kembali ke jalan yang benar.
Allah tidak menuntut kita menjadi sempurna, tapi Dia mencintai orang yang terus berusaha menjadi lebih baik. Dalam satu hadis qudsi, Allah berfirman:
يَا ابْنَ آدَمَ، إِنَّكَ مَا دَعَوْتَنِي وَرَجَوْتَنِي غَفَرْتُ لَكَ وَلَا أُبَالِي
“Wahai anak Adam, selama engkau berdoa dan berharap kepada-Ku, Aku akan mengampunimu atas apa yang telah kau lakukan, dan Aku tidak peduli.” (HR. Tirmidzi no. 3540)
Karena itu, jangan berhenti memperbaiki diri. Teruslah bersikap rendah hati. Tidak ada yang lebih indah daripada jiwa yang tahu batas dirinya, dan hati yang lapang untuk menerima kekurangan orang lain. Seringkali, justru orang yang tampak tenang menyimpan luka terdalam. Maka belajarlah untuk tidak hanya melihat dari permukaan, tapi selami dengan empati.
Jika hidupmu hari ini penuh cobaan, jangan merasa kalah. Jika kesalahan masa lalu masih menyisakan luka, jangan biarkan ia menggelapkan masa depan. Kita tidak bisa mengubah masa lalu, tapi kita bisa menulis ulang arah kehidupan kita dengan taubat, perbaikan diri, dan niat yang lurus.
Mari kita hayati dengan tulus sabda Nabi ﷺ:
مَنْ لَا يَرْحَمْ لَا يُرْحَمْ
”Siapa yang tidak menyayangi, maka tidak akan disayangi.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Ampunan Allah luas. Kasih sayang-Nya tak terbatas. Maka jangan pelit memberi maaf kepada sesama. Jangan gengsi untuk meminta maaf jika memang kita yang salah. Setiap permintaan maaf bukan pelemahan diri, tapi penguatan jiwa.
Akhirnya, hidup bukan tentang siapa yang paling benar, tapi siapa yang paling mau belajar. Bukan tentang siapa yang tak pernah gagal, tapi siapa yang selalu bangkit dari kegagalan. Dan bukan tentang siapa yang disucikan, tapi siapa yang terus mensucikan dirinya dengan taubat dan ikhtiar memperbaiki.
Teruslah rendah hati, jadilah pemaaf, dan jangan berhenti memperbaiki diri. Karena sejatinya, itulah makna hidup yang sejati: belajar, memaafkan, dan tumbuh. (*)