JAKARTAMU.COM | Rasulullah memerintahkan haji tamattu’. Umar melarangnya. Imran bin Hushain menolak tunduk pada ijtihad yang bertentangan dengan sunnah Nabi.
Petang itu, suasana kota Basrah tak sepadat biasanya. Imran bin Hushain duduk di antara para muridnya, mengulang-ulang kisah yang tak pernah ia lupa. Ia bukan sahabat yang gemar tampil di mimbar, tapi satu hal tak bisa ia diamkan: perubahan terhadap syariat yang telah ditetapkan Rasulullah SAW.
“Sesudah ayat tentang mut’ah haji diturunkan,” kata Imran, “Rasulullah memerintahkannya kepada kami.” Maksudnya adalah mut’ah dalam haji, atau yang lebih dikenal sebagai haji tamattu’—berhaji dengan cara melakukan umrah lebih dulu di bulan haji, lalu haji setelahnya, dengan waktu bersantai (tamattu’*=) di antara keduanya.
Namun belakangan, Imran mendapati praktik ini tidak lagi diajarkan. Bahkan dilarang. Bukan oleh Nabi, bukan pula karena wahyu baru, melainkan oleh Umar bin Khattab, khalifah kedua yang dikenal keras dan tegas.
Imran pun bersuara lantang, meski dalam kapasitas sebagai rakyat biasa. “Setelah itu, tidak ada satu pun ayat yang menasakh (menghapus) ayat mut’ah haji,” kata dia, “dan Rasulullah tidak pernah melarangnya hingga wafat. Tapi sesudah itu, ada orang yang berkomentar berdasarkan pendapatnya sendiri.”
Ijtihad dan Kekuasaan
Pernyataan Imran bin Hushain bukan sekadar nostalgia hukum ibadah. Ia adalah kritik langsung terhadap Umar bin Khattab, salah satu figur utama dalam sejarah Islam yang kerap mengeluarkan kebijakan berbasis ijtihad. Umar memang dikenal sebagai pembaharu yang sering menafsirkan hukum agama dengan pendekatan maslahat (kepentingan publik).
Larangan terhadap haji tamattu’, menurut sejumlah riwayat, dikeluarkan Umar karena melihat masyarakat kala itu cenderung menyalahgunakan kemudahan tersebut, dan tidak menjaga kekhusyukan haji. Umar ingin mengembalikan makna spiritual haji sebagai perjuangan yang penuh pengorbanan.
Namun bagi Imran bin Hushain, pendekatan Umar terlalu subjektif. Ia menegaskan bahwa perintah Nabi tidak bisa dihapus hanya karena kekhawatiran atau pertimbangan sosial. Sunnah harus tetap sunnah, selama tidak ada dalil yang menasakhnya.
Ini bukan soal perbedaan metode. Aan tetapi soal batas otoritas. Sampai di mana seorang pemimpin boleh menafsir ulang ajaran yang sudah ditetapkan Rasul?
Ketegangan Antargenerasi Sahabat
Kisah ini menjadi salah satu contoh klasik perbedaan tajam di antara sahabat Nabi. Umar, sahabat senior dan pemimpin negara, melihat kebutuhan zaman. Imran, sahabat yang lebih muda dan lebih literal, berpegang teguh pada teks dan tradisi Rasulullah.
Dan seperti halnya dalam banyak episode sejarah Islam awal, perbedaan ini tidak selalu menghasilkan perpecahan, tapi menciptakan ruang tafsir yang dinamis.
“Umar mewakili semangat tajdid (pembaharuan),” ujar seorang akademisi dari UIN Sunan Kalijaga, “sementara Imran adalah representasi dari aliran yang sangat ketat pada sunnah.” Keduanya hidup dalam arus besar penafsiran Islam yang sedang tumbuh: antara teks dan konteks, antara hukum normatif dan kebutuhan sosiologis.
Sunnah di Tengah Kekuasaan
Yang menarik, Imran bin Hushain tidak menyerang pribadi Umar. Ia hanya menyoroti perbedaan sumber otoritas: wahyu dan ijtihad. Dalam pernyataannya, tersirat kritik terhadap kecenderungan sebagian penguasa untuk menyulap pendapat menjadi doktrin, lalu menjadikannya hukum wajib.
“…Tetapi ternyata sesudah itu orang yang berkomentar berdasarkan pendapatnya sendiri,” ujar Imran.
Pernyataan itu memunculkan gema perdebatan hingga kini: sejauh mana ijtihad seorang khalifah bisa mengubah tata cara ibadah yang diwariskan Nabi?
Di kemudian hari, banyak ulama dari kalangan Ahlus Sunnah tetap mengakui keabsahan haji tamattu’, mengacu pada riwayat Imran dan sejumlah hadis sahih. Bahkan Imam Syafi’i dan Imam Ahmad menyebut haji tamattu’ sebagai yang paling utama dilakukan bagi yang tidak tinggal di Mekah.
Jejak Kritik dalam Tradisi Islam
Kritik Imran bin Hushain menjadi bukti bahwa Islam bukan agama yang anti-kritik. Bahkan di masa sahabat, dialog dan sanggahan bisa muncul secara terbuka, bahkan terhadap pemegang tampuk kekuasaan tertinggi.
Ia juga menunjukkan bahwa dalam Islam, otoritas ilmu bisa berdiri sejajar, bahkan di hadapan otoritas politik. Imran, dengan pengetahuannya, berani membela sunnah meski harus berhadapan secara simbolik dengan sang Amirul Mukminin.
Warisan ini menjadi penting untuk ditafsirkan ulang dalam konteks modern: ketika pendapat ulama dibenturkan dengan regulasi negara, atau ketika sunnah ditinggalkan atas nama “kepraktisan”.
“Imran bin Hushain mengajarkan bahwa ketaatan pada sunnah bukan sikap konservatif,” kata seorang penulis fiqih kontemporer, “melainkan bentuk kesetiaan terhadap otentisitas Islam.”
Di tengah dunia modern yang cepat berubah, suara Imran terasa seperti pengingat: bahwa di atas pendapat siapa pun, sabda Nabi tetap harus menjadi rujukan utama. (*)