JAKARTAMU.COM | Di tengah derasnya desakan sebagian kalangan agar syariat Islam ditegakkan secepatnya dan seluas-luasnya, suara lain yang lebih pelan—namun tak kalah tegas—mengingatkan akan pentingnya hikmah dalam perubahan. Hikmah dalam arti sebenarnya: bukan menunda dengan dalih birokrasi atau kompromi politik, melainkan menyusun strategi yang bersandar pada sunnatullah dalam mengubah manusia.
Salah satu suara itu datang dari Syaikh Yusuf al-Qardhawi, ulama asal Mesir yang pemikirannya banyak memengaruhi wacana Islam kontemporer. Dalam bukunya Fiqh Prioritas, Qardhawi mengajak umat Islam merenungkan kembali bagaimana Rasulullah mengubah masyarakat jahiliyah menjadi masyarakat Islam—secara perlahan, bertahap, dan penuh pertimbangan sosial-kultural.
Salah satu teladan yang paling jelas dari metode bertahap itu adalah soal pengharaman khamar. Al-Qur’an tidak serta-merta mengharamkan minuman keras di awal dakwah. Larangan itu turun dalam tiga tahap: pertama, memberi isyarat bahwa khamar memiliki mudarat lebih besar daripada manfaat; lalu melarang mengerjakan shalat dalam keadaan mabuk; dan akhirnya, mengharamkannya secara total.
“Seandainya khamar diharamkan sekaligus, masyarakat Arab kala itu bisa menolaknya mentah-mentah,” tulis Qardhawi.
Qardhawi juga memberi contoh lain: sistem perbudakan. Islam tidak serta-merta menghapus perbudakan secara total, meski ia sangat membatasi dan mempersempit ruang geraknya. Alasannya, jika perbudakan yang saat itu menjadi tulang punggung ekonomi dunia dihapuskan secara revolusioner, guncangan sosial yang timbul bisa memicu resistensi besar-besaran. Maka Islam memilih jalan sunyi: mendorong pembebasan budak sebagai amal utama, membuka pintu-pintu tebusan dan pembebasan, serta menutup semua pintu masuk perbudakan.
Strategi ini, bagi Qardhawi, bukanlah kompromi, tapi kebijaksanaan: fiqh al-waqi’, fikih yang mempertimbangkan realitas, kondisi, dan kesiapan umat.
Umar bin Abdul Aziz dan Gairah Sang Anak
Fikih bertahap ini, menurut Qardhawi, tidak berhenti di masa Nabi. Ia menunjukkan bagaimana para pemimpin Islam generasi setelahnya juga menerapkan metode ini. Ia mengutip kisah Umar bin Abdul Aziz, khalifah Dinasti Umayyah yang dikenang sebagai pemimpin adil.
Putranya, Abd al-Malik, yang muda dan penuh semangat, mendesak sang ayah untuk segera menghapus semua bentuk kezaliman dan penyimpangan sekaligus. “Aku tidak peduli bila periuk mendidih dipersiapkan untukku dan untukmu dalam menjalankan kebenaran,” ujar sang putra.
Namun Umar menjawab dengan tenang: “Jangan tergesa-gesa, wahai anakku. Allah mengharamkan khamar dalam tiga tahap. Aku khawatir bila membawa kebenaran sekaligus kepada manusia, mereka juga akan meninggalkannya sekaligus.”
Pesan Umar sangat jelas: revolusi tanpa kesiapan hanya akan menghasilkan kehancuran. Kebenaran yang dipaksakan tanpa edukasi dan kesiapan psikologis masyarakat justru menjadi fitnah yang memperburuk keadaan.
Antara Bertahap dan Menunda
Namun bukan berarti strategi bertahap menjadi dalih untuk terus-menerus menunda pelaksanaan syariat. Qardhawi mengingatkan, pentahapan harus dibedakan dari penundaan dan pengelabuan.
“Pentahapan bukan racun yang membunuh semangat umat untuk menjalankan syariat,” tulisnya. Ia menekankan bahwa setiap fase harus dirancang, dievaluasi, dan menjadi fondasi bagi fase berikutnya. Tanpa perencanaan matang, pentahapan hanya menjadi jargon kosong.
Dalam konteks ini, Qardhawi membedakan antara “perjuangan revolusioner” yang emosional dengan “perjuangan strategis” yang rasional dan berjangka panjang. “Pendirian masyarakat Islam,” katanya, “tidak akan terjadi lewat keputusan raja, presiden, atau parlemen. Ia hanya lahir dari pendidikan, pembentukan pemikiran, pembenahan moral, dan penciptaan alternatif hukum.”
Gagasan Qardhawi bukan sekadar soal teori hukum. Ia menyentuh persoalan mendasar: bagaimana umat Islam bisa mewujudkan cita-cita mereka tanpa terjebak dalam romantisme atau militansi.
Menurutnya, masyarakat Islam sejati hanya bisa berdiri jika individu-individu muslim telah dipersiapkan secara spiritual, intelektual, dan sosial. Transformasi harus dimulai dari pembentukan karakter, penguatan lembaga, hingga penciptaan sistem hukum alternatif yang sahih.
“Dan itu tidak bisa terjadi dalam semalam,” tulisnya lugas.
Pelajaran dari Sejarah
Membaca Qardhawi hari ini seperti bercermin. Di tengah seruan tentang formalisasi syariat yang kerap digaungkan dalam kontestasi politik, kita diingatkan bahwa penegakan hukum Allah bukan perkara undang-undang semata, melainkan proses pendidikan kolektif dan perjuangan panjang.
Kita butuh lebih banyak Umar bin Abdul Aziz—bukan sekadar pemimpin, tapi pendidik umat. Dan kita juga butuh lebih banyak Abd al-Malik—pemuda yang siap menanggung risiko demi tegaknya kebenaran. Tetapi lebih dari itu, kita butuh kesabaran sejarah.
Sebab, seperti pengharaman khamar, perubahan tidak akan kokoh bila ia dipaksakan, dan tak akan hadir jika terus ditunda. Maka di antara tergesa dan menunda, ada jalan sunyi nan bijak: jalan pentahapan. Jalan Nabi.