JAKARTAMU.COM | Hari ini, Gaza kembali menjadi panggung pertunjukan brutalitas militer Israel yang tak pernah puas menumpahkan darah warga sipil Palestina. Sebanyak 35 nyawa melayang sia-sia hanya dalam satu hari akibat “operasi militer” mereka yang katanya “terukur.” Di Bureij, sembilan anggota satu keluarga sekaligus dilenyapkan, menambah daftar panjang keluarga yang dihapus dari peta kehidupan oleh bom-bom Israel.
Ironisnya, di tengah lautan darah dan air mata, Israel justru dengan pongahnya mempertahankan blokade keji yang telah berlangsung lebih dari 60 hari. Pemerintah Irlandia dan Austria sampai muak dan angkat bicara, mengutuk tindakan biadab yang merampas hak dasar warga Gaza atas makanan dan obat-obatan. Bahkan, Amnesty International dengan lantang menyebut blokade ini sebagai “kejahatan perang” – sebuah istilah yang tampaknya tak lagi memiliki arti bagi telinga Israel yang tuli.
Koordinator kemanusiaan di Gaza, Amjad Shawa, dengan nada putus asa memperingatkan bahwa anak-anak Gaza kini tinggal menunggu ajal akibat kekurangan gizi. “Seluruh wilayah ini kelaparan,” katanya, sebuah kalimat yang seharusnya membuat perut dunia bergejolak, namun nyatanya hanya dianggap angin lalu oleh para pemimpin yang memilih bungkam atau memberikan dukungan implisit kepada Israel.
Tak cukup dengan membombardir rumah-rumah penduduk, kapal pembawa bantuan kemanusiaan, Gaza Freedom Flotilla, yang membawa 30 aktivis pro-Palestina pun menjadi sasaran pengeboman. Untungnya, kali ini tidak ada korban jiwa, namun insiden ini semakin memperjelas watak agresif Israel yang tak segan menyerang siapa saja yang mencoba memberikan secercah harapan bagi warga Gaza yang terkepung.
Jumlah korban tewas resmi memang “baru” 52.418 jiwa, dengan 118.091 lainnya terluka. Namun, Kantor Media Pemerintah Gaza dengan getir menyebutkan angka yang jauh lebih mengerikan: lebih dari 61.700 nyawa melayang, dan ribuan lainnya masih tertimbun reruntuhan, dianggap sudah tak bernyawa. Apakah angka-angka statistik ini cukup untuk menyentuh nurani para pemegang kekuasaan di dunia? Atau, kita semua akan terus menyaksikan genosida ini sebagai tontonan yang menyedihkan namun tak mampu dihentikan?