Sabtu, Mei 3, 2025
No menu items!

Pengantar Perzinaan Menurut Syaikh Al-Qardhawi

Must Read
Miftah H. Yusufpati
Miftah H. Yusufpati
Sebelumnya sebagai Redaktur Pelaksana SINDOWeekly (2010-2019). Mulai meniti karir di dunia jurnalistik sejak 1987 di Harian Ekonomi Neraca (1987-1998). Pernah menjabat sebagai Pemimpin Redaksi Majalah DewanRakyat (2004), Wakil Pemimpin Harian ProAksi (2005), Pemimpin Redaksi LiraNews (2018-2024). Kini selain di Jakartamu.com sebagai Pemimpin Umum Forum News Network, fnn.co.Id. dan Wakil Pemimpin Redaksi Majalah FORUM KEADILAN.

JAKARTAMU.COM | Dalam al-Quran Surat An-Nur ayat 31 Allah Taala berfirman: “… Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang (biasa) tampak daripadanya… ” (an-Nur: 31 )

Menurut jumhur ulama, perhiasan yang biasa tampak itu ialah
“wajah dan telapak tangan.” Dengan demikian, wanita boleh
menampakkan wajahnya dan kedua telapak tangannya, bahkan
(menurut pendapat Abu Hanifah dan al-Muzni) kedua kakinya.

Apabila wanita boleh menampakkan bagian tubuhnya ini (muka dan tangan/kakinya), maka bolehkah laki-laki melihat kepadanya ataukah tidak?

Syaikh Yusuf Al-Qardhawi dalam bukunya berjudul “Fatwa-fatwa Kontemporer” (Gema Insani Press) mengatakan pandangan pertama (secara tiba-tiba) adalah tidak dapat dihindari sehingga dapat dihukumi sebagai darurat. Adapun pandangan berikutnya (kedua) diperselisihkan hukumnya oleh para ulama.

Menurutnya, yang dilarang dengan tidak ada keraguan lagi ialah melihat dengan menikmati (taladzdzudz) dan bersyahwat, karena ini merupakan pintu bahaya dan penyulut api. Sebab itu, ada ungkapan, “memandang merupakan pengantar perzinaan.”

Dan bagus sekali apa yang dikatakan oleh Syauki ihwal memandang yang dilarang ini, yakni:

“Memandang (berpandangan) lalu tersenyum, lantas mengucapkan salam, lalu bercakap-cakap, kemudian berjanji, akhirnya
bertemu.”

Adapun melihat perhiasan (bagian tubuh) yang tidak biasa tampak, seperti rambut, leher, punggung, betis, lengan (bahu), dan sebagainya, adalah tidak diperbolehkan bagi selain mahram, menurut ijma. Ada dua kaidah yang menjadi acuan masalah ini beserta masalah-masalah yang berhubungan dengannya.

Pertama, bahwa sesuatu yang dilarang itu diperbolehkan ketika darurat atau ketika dalam kondisi membutuhkan, seperti kebutuhan berobat, melahirkan, dan sebagainya, pembuktikan tindak pidana, dan lain-lainnya yang diperlukan dan menjadi keharusan, baik untuk perseorangan maupun masyarakat.

Kedua, bahwa apa yang diperbolehkan itu menjadi terlarang apabila dikhawatirkan terjadinya fitnah, baik kekhawatiran itu terhadap laki-laki maupun perempuan. Dan hal ini apabila terdapat petunjuk-petunjuk yang jelas, tidak sekadar perasaan dan khayalan sebagian orang-orang yang takut dan ragu-ragu terhadap setiap orang dan setiap persoalan.

Karena itu, kata al-Qardhawi, Nabi SAW pernah memalingkan muka anak pamannya yang bernama al-Fadhl bin Abbas, dari melihat wanita Khats’amiyah pada waktu haji, ketika beliau melihat al-Fadhl berlama-lama memandang wanita itu.

Dalam suatu riwayat disebutkan bahwa al-Fadhl bertanya kepada Rasulullah SAW, “Mengapa engkau palingkan muka anak pamanmu?”

Beliau SAW menjawab, “Saya melihat seorang pemuda dan seorang pemudi, maka saya tidak merasa aman akan gangguan setan terhadap mereka.”

Kekhawatiran akan terjadinya fitnah itu kembali kepada hati nurani si muslim, yang wajib mendengar dan menerima fatwa, baik dari hati nuraninya sendiri maupun orang lain. Artinya, fitnah itu tidak dikhawatirkan terjadi jika hati dalam kondisi sehat, tidak dikotori syahwat, tidak dirusak syubhat (kesamaran), dan tidak menjadi sarang pikiran-pikiran yang menyimpang.

Pameran Jejak Rasa UM Bandung Tarik Perhatian Guru Seni Malaysia

BANDUNG, JAKARTAMU.COM | BANDUNG, JAKARTAMU.COM | Prodi Kriya Tekstil dan Fashion Universitas Muhammadiyah (UM) Bandung sukses menggelar pameran internasional,...
spot_img
spot_img

More Articles Like This