KETAWADHUA’AN, sebuah kata yang barangkali kerap terucap namun tak mudah terwujud dalam keseharian. Ia bukan sekadar sikap hati yang tersembunyi, melainkan harus tampak dalam perbuatan, dalam ucapan, bahkan dalam pilihan gaya hidup, termasuk dalam urusan berpakaian. Di era di mana banyak orang mengejar gaya dan gengsi, hadis ini datang sebagai teguran lembut, sekaligus cahaya petunjuk bagi jiwa-jiwa yang ingin lebih dekat kepada Allah.
عن معاذ بن انس رضي الله عنه مرفوعاً:
«مَنْ تَرَكَ اللِّبَاسَ تَوَاضُعًا للهِ، وَهُوَ يَقْدِرُ عَلَيْهِ، دَعَاهُ اللهُ يَوْمَ القِيَامَةِ عَلَى رُءُوسِ الخَلَائِقِ حَتَّى يُخَيِّرَهُ مِنْ أَيِّ حُلَلِ الإِيمَانِ شَاءَ يَلْبَسُهَا»
[حسن] – [رواه الترمذي وأحمد]
“Dari Mu‘āż bin Anas al-Juhani raḍiyallāhu ‘anhu secara marfū’, Rasulullah ﷺ bersabda: ‘Barangsiapa meninggalkan pakaian (mewah) karena merendahkan diri kepada Allah, padahal ia mampu memakainya, niscaya Allah akan memanggilnya pada hari kiamat di hadapan seluruh makhluk, lalu Allah memberinya pilihan mengenakan pakaian iman mana saja yang ia kehendaki.'” (Hadis hasan – Riwayat at-Tirmiżi dan Ahmad)
Dalam untaian kalimat ini, kita tak hanya diminta untuk hidup sederhana, melainkan juga ditantang untuk jujur kepada diri sendiri: apakah pakaian yang kita kenakan mencerminkan rasa syukur atau justru memamerkan kesombongan? Apakah ia menjadi cara kita menunjukkan ketaatan, atau justru menjadi alat untuk bersaing dalam kemewahan?
Rasulullah ﷺ adalah contoh nyata dari ketawadhu’an itu. Beliau bisa saja hidup mewah, mengenakan kain paling mahal, berkalung emas, dan disambut karpet kemegahan. Tapi beliau lebih memilih hidup sederhana, menolak segala bentuk kemewahan dunia yang tidak mendekatkan kepada Allah.
Allah ﷻ berfirman:
وَلَا تَمْشِ فِي الْأَرْضِ مَرَحًا إِنَّكَ لَنْ تَخْرِقَ الْأَرْضَ وَلَنْ تَبْلُغَ الْجِبَالَ طُولًا
“Dan janganlah engkau berjalan di bumi dengan sombong. Sungguh, engkau tidak akan dapat menembus bumi dan tidak akan sampai setinggi gunung.” (QS. Al-Isrā’: 37)
Ayat ini adalah peringatan bagi hati yang mudah terbuai pujian manusia. Ketawadhu’an dalam pakaian bukan berarti harus compang-camping, melainkan tetap bersih dan rapi, namun tidak berlebihan, tidak mendominasi ruang pandang agar terlihat lebih hebat dari yang lain.
Ulama salaf sangat memperhatikan hal ini. Diriwayatkan bahwa Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu pernah menegur seseorang yang memakai pakaian sangat mencolok sambil berkata, “Apakah ini pakaian orang yang takut kepada Allah?”
Ketawadhu’an juga menjauhkan kita dari budaya konsumtif yang menjadikan penampilan sebagai tolok ukur kemuliaan. Padahal, Allah tidak memandang rupa dan pakaian kita, tetapi memandang hati dan amal kita.
Rasulullah ﷺ bersabda:
إِنَّ اللهَ لاَ يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ، وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ
“Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada rupa dan harta kalian, tetapi Dia melihat kepada hati dan amal kalian.” (HR. Muslim)
Maka, jika engkau mampu membeli pakaian bermerek, tetapi engkau memilih yang sederhana demi menjaga hatimu dari riya’, engkau termasuk orang yang dijanjikan akan mendapat kemuliaan pada hari kiamat.
Ketahuilah, Allah ﷻ akan memanggilmu di tengah khalayak ramai, mengangkatmu, dan memberimu kehormatan yang lebih indah dari semua perhiasan dunia. Bukan karena engkau miskin, tetapi karena engkau kaya dalam iman dan ketawadhu’an.
Sebagaimana hadis tersebut, Allah tidak menyia-nyiakan satu pun niat yang ikhlas, sekecil apa pun bentuknya. Bahkan ketika itu hanya berupa pilihan untuk tidak mengenakan pakaian mewah, padahal engkau mampu.
Betapa mulianya balasan bagi hati yang tidak terjebak dalam kemegahan dunia. Karena sejatinya, pakaian terbaik bukanlah sutra, bukan juga merek ternama, tetapi pakaian iman dan takwa.
وَلِبَاسُ التَّقْوَىٰ ذَٰلِكَ خَيْرٌ
“Dan pakaian takwa itulah yang terbaik.” (QS. Al-A’rāf: 26)
Mari jadikan pakaian sebagai ladang amal. Pakaikan ketawadhu’an dalam setiap helai kain yang kita kenakan. Bukan karena tak mampu, tetapi karena ingin dicintai Allah. Sebab, pakaian sejati bukan yang dikenakan di dunia, tetapi yang akan dikenakan di surga kelak—atas pilihan Allah untuk hamba-hamba-Nya yang rendah hati.
Semoga Allah menjadikan kita termasuk orang-orang yang ketika berdiri di hadapan-Nya, dikenali bukan karena merek baju, tapi karena ketundukan jiwa. (*)