SAPULETE, Salimin, dan Sultan Ibrahim. Tiga nama itu nyaris tenggelam dalam arsip sejarah. Mereka bukan tokoh yang tertulis dalam buku pelajaran, bukan pula diplomat atau jenderal besar yang menghipnotis dunia. Mereka adalah syuhada yang gugur di Tanah Palestina, ketika peluru mortir menerjang dalam pertempuran melawan penjajahan Inggris dan zionis pada September 1938.
Menurut beberapa informasi, laporan ini pertama kali muncul dalam Pantjaran Amal, majalah terbitan Muhammadiyah Cabang Betawi, edisi 10 November 1938. Dalam edisi No. 21/Tahun III itu, disebutkan bahwa ketiga warga Indonesia tersebut ikut berperang di sisi rakyat Palestina. Mereka diyakini sebagai pelajar Indonesia yang sedang menimba ilmu di Timur Tengah, lalu terpanggil untuk turut serta dalam perjuangan kemerdekaan Palestina.
Nama-nama mereka kembali disebut dalam pertemuan antara tokoh PLO dan sejarawan Ridwan Saidi pada 1992. Dalam pertemuan itu, pihak Palestina mengungkap bahwa ketiga syuhada asal Indonesia telah lama dikenang sebagai bagian dari solidaritas internasional yang tulus dan berani.
Sejumlah media Islam seperti Minanews dan IBTimes.ID turut mengangkat kembali kisah ini. Kisah ketiganya menegaskan bahwa dukungan Indonesia terhadap Palestina bukanlah hal baru. Bahkan sebelum proklamasi kemerdekaan, semangat membela keadilan dan kemerdekaan bangsa lain telah hidup di kalangan pemuda Indonesia.
“Ini bukan sekadar sejarah, tapi cermin dari karakter bangsa,” ujar seorang peneliti sejarah Islam. “Bahwa Indonesia, sejak awal, berdiri di sisi yang tertindas.”
Kini, di tengah dinamika geopolitik dan gelombang solidaritas global terhadap Palestina, nama Sapulete, Salimin, dan Sultan Ibrahim layak untuk kembali dikenang. Bukan hanya sebagai syuhada, tetapi sebagai simbol keberanian, empati, dan komitmen lintas batas yang telah lama menjadi bagian dari jati diri bangsa Indonesia.
Jejak mereka mengingatkan kita bahwa solidaritas bukan hanya soal wacana, tetapi tentang keberanian untuk hadir, berjuang, dan berkorban. Dari majalah Pantjaran ‘Amal hingga medan tempur Palestina, semangat itu terus hidup—menjadi warisan moral yang tak lekang oleh waktu.
Diolah dari berbagai sumber