Minggu, Agustus 10, 2025
No menu items!

Sikap Muhammadiyah terhadap Hukum Negara

Must Read

BAGAIMANA sikap seorang muslim ketika dihadapkan pada dilemma antara taat kepada pemerintah dengan tunduk pada hukum Allah? Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, umat Islam dituntut untuk tetap menjunjung prinsip syariat, tetapi juga mesti bijak dalam menyikapi sistem yang sedang berlaku, sebagaimana dicontohkan oleh para pendiri bangsa dan ditafsirkan oleh gerakan Islam seperti Muhammadiyah.

Ayat 59 surat An-Nisa adalah salah satu landasan penting dalam memahami relasi antara umat Islam dan otoritas pemerintahan:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنكُمْ

“Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul dan pemimpin di antara kalian…” (QS. An-Nisa: 59)

Menurut Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah, ayat ini merupakan perintah berjenjang. Taat kepada Allah bersifat mutlak. Taat kepada Rasul juga mutlak, selama beliau masih hidup, dan kini melalui Sunnah yang shahih. Adapun ketaatan kepada ulil amri (pemimpin) bersyarat, yakni selama tidak memerintahkan maksiat atau bertentangan dengan syariat.

Dalam Tafsir at-Tanwir yang diterbitkan oleh PP Muhammadiyah, dijelaskan bahwa struktur perintah taat menggunakan kata “wa athi’uu” yang diulang untuk Allah dan Rasul, namun tidak untuk ulil amri, ini menunjukkan bahwa ketaatan kepada pemimpin tidak berdiri sendiri, tapi mengikuti ketaatan kepada Allah dan Rasul (Tafsir at-Tanwir, edisi digital, 2016).

Masih dalam lanjutan ayat tersebut:

فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ

“Jika kalian berselisih tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul…” (QS. An-Nisa: 59)

Artinya, jika muncul perbedaan antara kebijakan pemimpin dan hukum syariat, maka syariatlah yang menjadi rujukan akhir. Ini sejalan dengan pendirian Muhammadiyah bahwa hukum Islam adalah sumber etika sosial dan norma hukum yang harus diacu dalam kehidupan bersama. Namun dalam konteks Indonesia yang bukan negara Islam secara formal, maka pendekatan Muhammadiyah bersifat dakwah dan kultural, bukan revolusioner atau anarkis.

Dalam konteks demokrasi misalnya, masih banyak yang mempertanyakan sikap Muhammadiyah. Sebab demokrasi  yang berlaku tidak menggunakan pola ahlul halli wal ‘aqdi seperti dalam khilafah klasik. Benarkah itu artinya Muhammadiyah menyalahi prinsip Islam?

Muhammadiyah melalui forum resmi seperti Muktamar dan Tanwir, secara konsisten menyatakan bahwa demokrasi modern bukan sistem kufur. Sebaliknya dia adalah wasilah (sarana) yang dapat digunakan untuk mewujudkan nilai-nilai keadilan, kejujuran, dan musyawarah, yang semuanya juga merupakan nilai Islam. Hal ini ditegaskan dalam Kepribadian Muhammadiyah, bahwa Muhammadiyah tidak menolak demokrasi sepanjang dijalankan dengan adil dan mengedepankan akhlak.

Majelis Tarjih juga menjelaskan bahwa ahlul halli wal ‘aqdi bukan satu-satunya cara pemilihan pemimpin yang disyariatkan. Dalam kitab Fikih Siyasah terbitan Suara Muhammadiyah, dijelaskan bahwa prinsip syura (musyawarah) adalah inti, dan demokrasi modern bisa menjadi wadah dari prinsip itu. Maka, keterlibatan Muhammadiyah dalam Pemilu, mendirikan partai-partai politik seperti Masyumi di masa lalu, hingga kini aktif memberi masukan kebijakan, adalah bentuk dakwah konstitusional dalam sistem yang ada.

Namun tetap, Muhammadiyah bersikap kritis terhadap sistem hukum yang bertentangan dengan syariat. Dalam Risalah Islam Berkemajuan, disebutkan bahwa umat Islam harus mendorong agar hukum nasional tidak bertentangan dengan prinsip keadilan Islam. Muhammadiyah bukan menyetujui sekularisme, tapi menyadari bahwa penerapan hukum Islam di Indonesia haruslah kontekstual, gradual, dan mengedepankan pendekatan hikmah wa mau’idhah hasanah (dakwah yang bijaksana dan lemah lembut).

Lantas, bagaimana jika pemerintah membuat undang-undang atau kebijakan yang jelas bertentangan dengan syariat? Apakah kita masih wajib mentaatinya?

Rasulullah bersabda:

إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي الْمَعْرُوفِ

“Sesungguhnya ketaatan hanya dalam perkara yang ma’ruf (baik dan sesuai syariat)” (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadis ini menjadi pijakan bahwa jika kebijakan pemerintah mengarah pada maksiat atau kezaliman, maka umat Islam tidak boleh mentaatinya. Namun tidak taat bukan berarti melakukan pemberontakan atau kekerasan. Muhammadiyah menekankan bahwa koreksi terhadap pemerintah harus dilakukan secara konstitusional, dengan kritik ilmiah, dakwah, dan membangun opini publik yang sehat.

Muhammadiyah juga mengajarkan bahwa umat Islam harus tetap menjaga stabilitas negara, sebagaimana Tuntunan Hidup Islami Warga Muhammadiyah. Di dalamnya dinyatakan bahwa menjadi warga negara yang baik adalah bagian dari etika Islam, selama tidak menggadaikan prinsip iman. Ini pula yang menjadi dasar mengapa Muhammadiyah aktif dalam bidang pendidikan, kesehatan, sosial, bahkan kebijakan publik melalui Majelis Hukum dan HAM PP Muhammadiyah.

Soal sekularisme di Indonesia, Muhammadiyah tidak memandang bahwa seluruh hukum di Indonesia bertentangan dengan Islam. Banyak hukum yang netral, bahkan sesuai prinsip Islam, seperti larangan korupsi, perlindungan anak, kebebasan beragama, dan lainnya. Namun Muhammadiyah menolak jika negara secara aktif menyingkirkan agama dari ruang publik. Karenanya, Muhammadiyah tetap mendorong penguatan nilai-nilai agama dalam sistem hukum nasional melalui jalur pendidikan, advokasi kebijakan, dan partisipasi publik yang konstruktif.

Muhammadiyah tidak memperjuangkan negara teokratis, namun negara berkeadaban. Negara yang menghormati nilai-nilai agama sebagai fondasi moral dan etik dalam membangun hukum dan pemerintahan. Bukan negara agama, tapi negara yang tidak memusuhi agama. Dalam hal ini, Indonesia memiliki peluang besar menjadi contoh negara modern yang tetap memuliakan agama dalam bingkai Pancasila.

Sebagai penutup, mari kita renungkan firman Allah dalam QS. Al-Ma’idah: 8:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ

“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kalian penegak keadilan karena Allah, sebagai saksi dengan kebenaran…”

Ayat ini adalah pengingat bahwa apapun sistem dan struktur yang ada, seorang Muslim harus tetap menjadi penegak keadilan. Dan untuk itulah  Muhammadiyah hadir sebagai gerakan tajdid (pembaruan) yang menjembatani antara idealisme syariat dan realitas kehidupan bangsa, bukan dengan kekerasan, tapi melalui ilmu, amal, dan dakwah mencerahkan. (*)

Jejak Solidaritas yang Terlupakan: Mengenang Tiga Putra Indonesia Syahid di Palestina Tahun 1938

SAPULETE, Salimin, dan Sultan Ibrahim. Tiga nama itu nyaris tenggelam dalam arsip sejarah. Mereka bukan tokoh yang tertulis dalam...

More Articles Like This