Jumat, Juli 11, 2025
No menu items!

Mengapa Jumlah Siswa Sekolah Muhammadiyah Terus Merosot?

Must Read

FENOMENA sepinya pendaftar di sekolah-sekolah Muhammadiyah terasa di mana-mana. Sebuah ironi ketika pucuk pimpinan Kementerian Pendidikan Dasar sedang dijabat kader Muhammadiyah.

Di Mataram, Nusa Tenggara Barat misalnya. Tahun lalu SMP Muhammadiyah di kota itu hanya menerima 11 siswa baru. Jumlah itu ternyata masih lebih baik ketimbang tahun-tahun sebelumnya yang hanya dua sampai lima siswa baru.

Sekolah ini sekarang total memiliki 21 siswa, jauh di bawah standar satu kelas yaitu 33 siswa. Ke-21 siswa ini terdiri atas 11 siswa di kelas VII, 4 siswa di kelas VIII, dan 6 siswa di kelas IX.

“Ini kan hampir semua sekolah swasta mau gulung tikar semua. Ini aja saya alhamdulilah masih bisa bertahan,” kata Kepala SMP Muhammadiyah Mataram, Junaidi Usman, dikutip dari Suara NTB, Kamis (10/7/2025).

Fenomena SMP Muhammadiyah 1 Jember lebih mencengangkan lagi. Berdasarkan riset tiga mahasiswa Universitas Muhammadiyah Jember yang disajikan Journal of Engineering and Sustainable Technology, secara konsisten penerimaan siswa baru di sekolah ini menurun dari tahun ke tahun dari 236 pada 2019 menjadi 126 pada 2023.Fenomena yang sama juga bisa ditemukan di kota-kota lain.

Hal ini seharusnya menggugah nurani terdalam para tokoh dan pimpinan Muhammadiyah. Ini adalah alarm panggilan moral dan spiritual yang menuntut handarbeni, rasa memiliki sepenuhnya terhadap amal usaha yang lahir dari gerakan dakwah kolektif.

Ketika pimpinan Muhammadiyah sendiri lebih memilih menyekolahkan anaknya di lembaga lain, bahkan di yayasan yang visinya bertentangan dengan spirit Muhammadiyah, publik menangkap pesan yang sangat gamblang: AUM tidak layak dijadikan pilihan utama. Tindakan para pimpinan ini tidak hanya melemahkan kepercayaan masyarakat, tetapi juga mengikis semangat kolektif warga Muhammadiyah.

Psikologi sosial masyarakat sangat menaruh hormat pada keteladanan tokoh. Masyarakat meniru apa yang dilakukan sang tokoh. Ketika para pengurus Muhammadiyah menyekolahkan anak di luar AUM, mereka sesungguhnya mengirim sinyal ketidakpercayaan yang jauh lebih kuat dari seribu pidato motivasi.

Rasa kepemilikan (handarbeni) yang seharusnya mengakar pada para pimpinan menjadi rapuh. Padahal, sejak awal Muhammadiyah berdiri sebagai gerakan tajdid, semangat pembaruan itu dititipkan agar umat menjadi lebih berdaya dan mandiri, khususnya di bidang pendidikan. Namun jika pengurus sendiri enggan mempercayai AUM, bagaimana umat akan meyakininya?

Dari sisi spiritual, pengelolaan AUM adalah amanah berat yang kelak dipertanggungjawabkan di hadapan Allah. Al-Ahzab ayat 72 mengingatkan kita bahwa amanah ini lebih berat daripada gunung. Ketika amanah ini diabaikan, dampaknya bukan hanya pada turunnya jumlah murid, tetapi juga menjadi cacat moral yang merusak marwah gerakan dakwah itu sendiri.

Masalah sepinya AUM tidak bisa semata ditimpakan pada guru atau kepala sekolah. Ini adalah tanggung jawab kolektif seluruh warga Muhammadiyah, apalagi bagi para pemimpin yang setiap kata dan langkahnya diteladani. Jangan sampai AUM hanya menjadi “proyek simbolik” yang dipelihara demi nama, sementara substansi ideologinya tercerai-berai.

Dari aspek manajerial, AUM sebenarnya memiliki peluang besar untuk unggul: jejaring luas, pengalaman panjang, dan modal sosial yang kuat. Namun, semua itu akan sia-sia tanpa kepercayaan penuh dan keteladanan konkret dari para pimpinan. Strategi marketing, inovasi kurikulum, serta peningkatan kualitas guru akan tetap terdengar kosong jika tidak ditopang oleh rasa handarbeni para tokoh.

Pimpinan Muhammadiyah harus berani menjadi “living endorsement” yang memperkuat brand AUM. Mereka seharusnya menjadi testimoni hidup, membuktikan bahwa AUM layak bukan hanya untuk orang lain, tapi juga untuk keluarga mereka sendiri. Saat tokoh menaruh anak di AUM, pesan yang tersampaikan ke masyarakat adalah: “Kami yakin, maka Anda pun seharusnya yakin.”

Selain itu, para pengurus wajib turun langsung ke lapangan, mendengar langsung keluhan masyarakat, membuka ruang dialog yang jujur, dan merespons kebutuhan riil. Tidak cukup hanya membuat slogan “Sekolah Muhammadiyah Berkemajuan”, tetapi harus berani menunjukkan keunggulan nyata dalam akhlak, akademik, dan kesiapan anak menghadapi masa depan.

Narasi keunggulan AUM juga harus dibangun dengan jujur dan inklusif. Bukan sekadar menonjolkan label Muhammadiyah, tetapi memperlihatkan transformasi kurikulum, peningkatan kualitas pengajar, serta penguatan pembinaan spiritual dan soft skill. Semua ini harus didukung dengan evaluasi menyeluruh yang tidak berhenti pada laporan di meja pimpinan.

Kini, momentum muhasabah ini sangat relevan. Surah Ash-Shaf ayat 2-3 mengingatkan dengan tegas:

“يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفْعَلُونَ. كَبُرَ مَقْتًا عِندَ اللَّهِ أَن تَقُولُوا مَا لَا تَفْعَلُونَ.”

“Wahai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Sangat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.”

Saatnya para pimpinan Muhammadiyah berhenti menjadi komentator di pinggir lapangan. AUM bukan hanya milik guru dan kepala sekolah, tetapi milik seluruh warga Muhammadiyah yang berkomitmen memajukan umat. Tanpa keteladanan, rasa handarbeni akan rapuh, kepercayaan masyarakat pun semakin menipis, dan AUM akan bertransformasi menjadi simbol kosong yang hanya diwarisi di papan nama.

Membangun rasa handarbeni mesi dilakukan secara konkret, yaitu memercayakan anak, mendampingi guru, menumbuhkan keunggulan, dan memelihara ruh dakwah kepada AUM. Membesarkan AUM adalah jihad pendidikan, jihad yang harus dimulai dari diri sendiri dan keluarga. Jika para pimpinan berani memulai, masyarakat akan mengikuti. (*)

Terpilih sebagai Ketua IKA UM Surabaya, Suli Da’im Janji Perkuat Jejaring Alumni

SURABAYA, JAKARTAMU.COM | Anggota Komisi E DPRD Jawa Timur Dr. Suli Da’im, S.Pd., S.M., M.M., terpilih sebagai Ketua Ikatan...

More Articles Like This