Senin, Agustus 4, 2025
No menu items!

Tajdîd yang Tak Sembarangan: Membaca Ulang Siapa yang Layak Disebut Mujaddid

Must Read
Miftah H. Yusufpati
Miftah H. Yusufpati
Sebelumnya sebagai Redaktur Pelaksana SINDOWeekly (2010-2019). Mulai meniti karir di dunia jurnalistik sejak 1987 di Harian Ekonomi Neraca (1987-1998). Pernah menjabat sebagai Pemimpin Redaksi Majalah DewanRakyat (2004), Wakil Pemimpin Harian ProAksi (2005), Pemimpin Redaksi LiraNews (2018-2024). Kini selain di Jakartamu.com sebagai Pemimpin Umum Forum News Network, fnn.co.Id. dan Wakil Pemimpin Redaksi Majalah FORUM KEADILAN.

JAKARTAMU.COM | Pada setiap awal abad Hijriah, kaum Muslimin senantiasa menantikan hadirnya sosok pembaharu, mujaddid, yang menghidupkan kembali roh Islam di tengah dekadensi dan kerancuan. Hadis Nabi Muhammad SAW, yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, menjadi dasar ekspektasi itu: “Sesungguhnya Allah akan mengutus bagi umat ini pada setiap awal seratus tahun orang yang memperbarui agamanya.” Namun, siapa sebenarnya yang pantas disebut sebagai mujaddid?

Pertanyaan ini bukan sekadar wacana akademik. Di era ledakan informasi keislaman, dari mimbar digital hingga podcast dakwah, label mujaddid kerap disematkan dengan mudah, bahkan kepada tokoh-tokoh yang berada di luar arus utama Islam.

Padahal, dalam khazanah keilmuan Ahlus Sunnah wal Jama’ah, tajdîd (pembaharuan) bukan sekadar narasi progresif. Ia adalah amal Islami yang serius dan ketat dalam koridornya. “Tidak semua yang mengaku melakukan tajdîd lantas disebut mujaddid, karena harus memenuhi berbagai syarat,” tulis Prof. Dr. Muhammad bin Abdilaziz bin Ahmad al-‘Ali dalam Tajdîd ad-Dîn: Mafhûmuhu wa Dhawâbithuhu wa Âtsâruhu (1430 H).

Tajdîd: Menghidupkan, Bukan Mengubah

Pertama dan utama, tajdîd bukan inovasi sembarangan. Ia adalah upaya menghidupkan kembali Islam dalam bentuk aslinya—berbasis Al-Qur’an, hadis, ijma’, dan qiyas sahih. Tajdîd tidak berurusan dengan mengubah esensi agama, melainkan menghapus distorsi terhadapnya.

Ibnu Hazm dalam al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm (5/774) menegaskan bahwa hukum syariat yang bersumber dari nash tetap berlaku sepanjang zaman, tanpa terpengaruh oleh tempat, waktu, atau kondisi sosial. “Hukum berubah hanya jika ada dalil syar’i baru yang menggantikannya,” tulisnya. Ini menegaskan: tajdîd bukan reorientasi, tapi rekontekstualisasi dalam koridor nash.

Mujaddid Bukan Sekadar Populer

Ada syarat ketat yang ditetapkan para ulama untuk seseorang pantas menyandang gelar mujaddid. Di antaranya: ia harus dari kalangan Ahlus Sunnah wal Jama’ah, bebas dari bid’ah, menguasai ilmu syar’i secara mendalam, dan memiliki metode istidlal (pengambilan dalil) yang sahih. Bukan sekadar cakap berbicara atau viral di media sosial.

Syaikh Syamsul Haq al-‘Azhîm Âbâdî (w. 1858) bahkan mengecam keras pencatatan Abu Ja’far al-Imâmi asy-Syî’i dan al-Murtadhâ sebagai mujaddid dalam kitab Jâmi’ul Ushûl. “Mereka bukan menghidupkan sunnah, tapi mematikannya. Karya-karya mereka lebih banyak menebar kebid’ahan dan ta’wil sesat,” kritiknya tajam dalam ‘Aunul Ma’bûd.

Seorang mujaddid, menurut Fatawa al-Lajnah ad-Dâ`imah, harus memiliki keahlian dalam bidang tafsir, sunnah, fiqih, dan bahasa Arab. Ia juga harus memiliki akhlak mulia, keteguhan dalam beramal, dan semangat memperbaiki umat dengan kasih sayang, bukan kebencian atau kekuasaan.

Tajdîd bukan hanya wacana, tapi proyek peradaban. Seorang mujaddid idealnya adalah pemimpin umat dalam arti spiritual dan sosial. Mereka yang sabar dan yakin, sebagaimana disebut dalam Surah As-Sajdah ayat 24: “Kami jadikan dari mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar dan mereka meyakini ayat-ayat Kami.”

Tafsir Zaman dan Disiplin Nalar

Selain ilmu dan akhlak, seorang mujaddid dituntut memiliki ketajaman menafsirkan realita. Ia harus mampu memadukan teks (nash) dan konteks secara proporsional—tanpa menyimpang dari nash demi modernitas, dan tanpa menafikan realitas demi konservatisme.

Imam Asy-Syathibi dalam al-Muwâfaqât membedakan antara norma syariat (yang tetap) dan norma sosial (yang bisa berubah). Seorang mujaddid, kata dia, tahu betul di mana posisi batas itu.

Karena itu, mereka yang mengaku membawa tajdîd tetapi melandaskan metodologinya pada filsafat sekuler atau ideologi liberal bukanlah mujaddid, tapi justru sedang membawa umat menjauh dari roh Islam itu sendiri.

Dalam sejarah Islam, banyak sosok yang secara umum diakui sebagai mujaddid, seperti Umar bin Abdul Aziz, Imam Syafi’i, dan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab. Tapi tak satu pun dari mereka melenceng dari fondasi keislaman yang kokoh: tauhid, sunnah, dan akhlak. Mereka hadir bukan hanya sebagai ilmuwan, tapi juga panutan.

Kini, di tengah riuhnya klaim pembaharuan dan pembaruan, umat Islam perlu kembali pada pedoman ulama. Tajdîd bukan sekadar jargon, tapi jalan berat yang mensyaratkan ilmu, amal, akhlak, dan manhaj yang lurus.

Sebab sebagaimana ditegaskan para ulama, “Tak semua yang tahu Islam bisa membaharuinya, dan tak semua yang bicara tentang umat pantas memimpinnya.”

Anwar Abbas: Perang Palestina-Israel Berakhir Setelah AS Bangkrut

JAKARTAMU.COM | Penentu arah dan kebijakan sebuah negara adalah mereka yang menguasai kapital. Sosok atau kelompok yang berkuasa atas...

More Articles Like This