Selasa, Agustus 5, 2025
No menu items!

Harta Karun, Barang Tambang, dan Zakat yang Terlupakan

Ketika harta terpendam disamakan dengan minyak bumi, dan zakat kehilangan arah distribusinya.

Must Read
Miftah H. Yusufpati
Miftah H. Yusufpati
Sebelumnya sebagai Redaktur Pelaksana SINDOWeekly (2010-2019). Mulai meniti karir di dunia jurnalistik sejak 1987 di Harian Ekonomi Neraca (1987-1998). Pernah menjabat sebagai Pemimpin Redaksi Majalah DewanRakyat (2004), Wakil Pemimpin Harian ProAksi (2005), Pemimpin Redaksi LiraNews (2018-2024). Kini selain di Jakartamu.com sebagai Pemimpin Umum Forum News Network, fnn.co.Id. dan Wakil Pemimpin Redaksi Majalah FORUM KEADILAN.


JAKARTAMU.COM | Istilah “harta karun” lazim kita dengar dalam film petualangan, cerita rakyat, atau legenda bajak laut. Namun dalam perspektif Islam, istilah itu bukan sekadar dongeng. Dalam disiplin fiqih, harta karun dikenal sebagai ar-rikâz yakni harta terpendam yang ditemukan dalam tanah. Sementara al-ma’din merujuk pada barang tambang seperti emas, besi, dan minyak bumi. Keduanya, menurut syariat, wajib dikeluarkan zakatnya. Tapi ketika interpretasi fiqih bertemu dengan kepentingan negara modern, batasnya menjadi kabur.

Dalam Majmû’ karya Imam Nawawi, disebutkan bahwa ar-rikâz ialah harta peninggalan masa jahiliyah yang ditemukan tanpa usaha besar. Sementara al-ma’din, seperti ditulis Wahbah az-Zuhaili dalam al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, adalah hasil bumi yang terbentuk alami dan dikelola manusia. Mayoritas ulama membedakan keduanya, berlandaskan hadits Nabi Muhammad ﷺ: “…dan pada harta terpendam zakatnya seperlima.” (HR. Bukhari-Muslim)

Menariknya, menurut mazhab Hanafi, perbedaan itu tidak substansial. Mereka menyamakan ar-rikâz dan al-ma’din, dengan alasan keduanya berasal dari dalam bumi dan tidak terikat pada usaha tertentu. Perbedaan pandangan ini berimplikasi besar pada penetapan kadar zakat.

Zakat yang Tidak Tunggal

Para fuqaha’ berbeda pendapat soal kadar zakat harta terpendam dan tambang. Mazhab Hanafi menetapkan zakatnya sebesar 20 persen, sementara mayoritas ulama, termasuk Syafi’iyyah, hanya 2,5 persen sebagaimana zakat emas-perak.

Namun bukan kadar yang paling diperdebatkan hari ini, melainkan arah distribusinya. Apakah hasil zakat harta karun dan tambang, termasuk minyak bumi dan gas alam, harus disalurkan ke delapan golongan penerima zakat (asnaf) seperti disebut dalam Surah at-Taubah ayat 60? Atau boleh menjadi kewenangan pemerintah sebagaimana pendistribusian fai’ (harta rampasan non-peperangan)?

“Sebagian ulama menyamakan seperlima dari ar-rikâz dengan zakat, sementara sebagian lagi menganggapnya bagian dari fai’ yang dapat digunakan untuk kepentingan umum,” tulis Abu Malik dalam Shahîh Fiqhis-Sunnah (II/61).

Pandangan terakhir memberi ruang lebar bagi negara untuk menetapkan arah penggunaan dana seperlima dari hasil ar-rikâz dan ma’din. Dalam praktik negara modern, tak jarang hasil tambang dianggap bagian dari pendapatan negara umum, padahal syariat sudah memberi ketentuan spesifik.

Harta Karun atau Pemasukan Negara?

Situasi ini menjadi lebih kompleks ketika harta karun diidentifikasi bukan lagi sebagai guci emas dari masa jahiliyah, melainkan ladang minyak, nikel, dan batu bara yang menggerakkan perekonomian nasional. “Tidak diragukan, minyak bumi—yang kerap disebut emas hitam—termasuk barang tambang paling bernilai,” tulis Almanhaj dalam artikelnya tentang zakat harta karun.

Jika berpegang pada pendapat mayoritas ulama bahwa semua barang tambang wajib dizakati, maka pertanyaannya: ke mana aliran zakat dari kekayaan tambang nasional Indonesia? Apakah 20 persen dari hasil eksploitasi minyak, emas, dan batubara telah disalurkan ke delapan golongan seperti fakir, miskin, amil zakat, dan mualaf?

Pertanyaan itu menggantung tanpa jawaban. Dalam sistem fiskal nasional, hasil tambang masuk sebagai penerimaan negara bukan pajak (PNBP), yang penggunaannya ditentukan negara. Tidak ada mekanisme khusus yang mengklasifikasikan hasil tambang sebagai zakat atau fai’. Padahal dalam sejarah Islam, Khalifah Umar bin Khattab pernah membagikan seperlima dinar temuan kepada masyarakat langsung, bukan ke kas negara (Lihat: al-Amwâl karya Abu Ubaid, no. 874).

Problem Teoritis dan Praktis

Kontroversi tak hanya terjadi pada distribusi, tetapi juga pada kasus-kasus temuan pribadi. Jika seseorang menemukan emas dalam reruntuhan rumah tua di desa, siapa pemilik sahnya? Mayoritas ulama, seperti Syafi’iyyah, memerinci status kepemilikan berdasarkan lokasi dan status tanah. Jika tanah itu milik pribadi dan pemilik lama tak mengakuinya, maka harta itu sah milik penemu, dengan syarat mengeluarkan zakat seperlima.

Dalam konteks modern, di mana pemerintah mengklaim semua kekayaan alam sebagai milik negara—berdasarkan Pasal 33 UUD 1945—apakah individu masih bisa mengklaim temuan sebagai milik pribadi? Atau semua harta karun harus masuk kas negara, seperti halnya harta rampasan perang yang kini dimonopoli lembaga negara?

“Masalah ini semestinya dikembalikan kepada keputusan pemimpin kaum Muslimin,” kata Syaikh al-Albani dalam Tamâmul Minnah. Hal ini menunjukkan bahwa fiqih klasik memberi ruang pada otoritas politik untuk memutuskan arah distribusi harta zakat berdasarkan kemaslahatan.

Menyelaraskan Syariat dan Konstitusi

Dilema ini membuka ruang bagi negara untuk merancang kebijakan distribusi yang adil dan sesuai syariat. Namun untuk itu, diperlukan komitmen politik dan etika. Jangan sampai zakat harta karun dan tambang hanya menjadi wacana hukum klasik yang tidak menetes pada rakyat kecil.

Pemerintah bisa belajar dari model sejarah. Ketika Ali bin Abi Thalib menemukan harta temuan dari rakyat, ia membagikan lima bagian dan menyuruh penemunya memberikan kembali kepada fakir miskin (HR. Abdurrazzaq no. 7179). Spirit inilah yang hilang dalam pengelolaan tambang kita.

Dalam iklim eksploitasi sumber daya yang serba korporatif, syariat tentang zakat tambang justru menjadi harta karun yang terpendam—tak tersentuh, dan nyaris dilupakan.

Cendekiawan Muslim Bahas Viabilitas Masyarakat Madani di Indonesia dan Malaysia

JAKARTAMU.COM | Sejumlah cendekiawan Muslim dari Indonesia berkumpul dalam Focus Group Discussion (FGD) bertajuk Viabilitas Masyarakat dan Negara Madani...

More Articles Like This