Minggu, Agustus 3, 2025
No menu items!

Menunggu RS Muhammadiyah Khusus Perempuan di Setiap Kota

Must Read

LAYANAN kesehatan di Indonesia masih menyamaratakan kebutuhan pengguna tanpa mempertimbangkan perbedaan gender dan kebutuhan khusus. Padahal, perbedaan gender adalah keniscayaan yang sewajarnya direspons pula dengan sarana prasarana serta pelayanan yang berbeda.

Hal ini disampaikan oleh Dr. H. Ahmad Rifa’i, M.Pd.I, anggota Lembaga Pembinaan Pesantren (LP2M) PWM DKI Jakarta, dalam kajian rutin yang digelar di Masjid Al Huda Cipinang Kebembem, Jakarta Timur, Rabu (28/7/2025) malam.

Dr. H. Ahmad Rifa’i, M.Pd.I, anggota LP2M PWM DKI Jakarta, dalam kajian rutin di Masjid Al Huda Cipinang Kebembem, Jakarta Timur, Rabu (28/7/2025) malam. Foto: jakartamu.com/noor fajar asa

Dia mengatakan, perempuan misalnya, membutuhkan fasilitas khusus seperti toilet yang ramah perempuan, bilik menyusui, dan ruang bermain anak. Kebutuhan ini muncul dari perbedaan kondisi dan peran sosial antara laki-laki dan perempuan yang menuntut responsivitas dalam penyediaan layanan kesehatan.

Pun dalam konteks keagamaan, perdebatan mengenai aurat perempuan turut mewarnai diskusi tentang pelayanan kesehatan, terutama bagi perempuan Muslim. Fatwa yang menyebut hanya wajah dan telapak tangan yang boleh terlihat dikenal sebagai pendapat paling longgar dalam mazhab Asy-Syafi’iyah. Pandangan ini banyak dianut umat Islam di Indonesia, termasuk warga Muhammadiyah.

Namun sebagian besar ulama Syafi’iyah tetap berpendapat bahwa seluruh tubuh perempuan, termasuk wajah, adalah aurat yang wajib ditutupi di hadapan laki-laki bukan mahram. Pendapat ini didasarkan pada interpretasi mereka terhadap ayat-ayat Al-Qur’an dan hadis yang menekankan pentingnya menjaga aurat dan menutup diri dari pandangan yang bukan haknya.

Isu aurat menjadi krusial dalam layanan medis, khususnya ketika menyangkut dokter kandungan. Dalam keadaan darurat, ketika tidak tersedia dokter perempuan, pemeriksaan oleh dokter laki-laki diperbolehkan. Tetapi jika di tempat tersebut ada dokter perempuan, maka pemeriksaan terhadap perempuan wajib dilakukan oleh sesama perempuan. Menurut Ahmad Rifa’i, dalam kondisi ini, hukum memeriksakan diri ke dokter laki-laki menjadi haram.

Perempuan, sejak awal kehidupannya, memang memerlukan perlakuan yang adil dalam akses terhadap layanan publik, termasuk layanan kesehatan. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik telah mengakomodasi kelompok masyarakat yang memerlukan perhatian khusus, tak hanya penyandang disabilitas, tetapi juga lansia, ibu hamil dan menyusui, anak-anak, serta korban bencana.

Pasal 29 dalam undang-undang tersebut menegaskan pentingnya perlakuan khusus dalam pelayanan publik bagi kelompok-kelompok rentan. Sedangkan Pasal 4 menyatakan bahwa asas pelayanan publik adalah kesamaan hak dan perlakuan tanpa diskriminasi. Artinya, semua warga negara, baik laki-laki maupun perempuan, berhak mendapatkan layanan yang setara, tanpa perbedaan perlakuan berdasarkan jenis kelamin. Pelanggaran terhadap asas ini dapat menimbulkan maladministrasi, diskriminasi, konflik kepentingan, dan keberpihakan yang merugikan.

Melihat realitas tersebut, ke depan diharapkan Muhammadiyah maupun Aisyiyah dapat membangun setidaknya satu rumah sakit umum khusus perempuan di setiap kota. Rumah sakit ini harus menyediakan layanan yang ditangani sepenuhnya oleh tenaga medis perempuan—mulai dari unit gawat darurat hingga ruang operasi.

Hal ini berlaku untuk pasien perempuan dan anak perempuan, baik yang beragama Islam maupun non-Islam. Seluruh layanan medis yang mereka terima harus diberikan oleh petugas perempuan, meskipun tidak harus beragama Islam. Dengan demikian, perempuan dapat merasa lebih aman, nyaman, dan terlayani secara bermartabat sesuai kebutuhan mereka. (*)

Ketika Rektor UMY dan UM Surabaya Berhadapan di Lapangan Bhayangkara

GELAK tawa, dan sorak semangat para civitas academica Universitas Muhammadiyah Surabaya (UM Surabaya) dan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) tersaji...

More Articles Like This