BAGI umat Islam, kehalalan produk yang dikonsumsi bukan hanya soal makanan dan minuman, tetapi juga termasuk obat-obatan. Namun, pernahkah kita benar-benar menanyakan kehalalan obat yang diresepkan dokter ketika sedang sakit? Apakah selama ini kita hanya fokus pada kesembuhan tanpa memikirkan apakah obat yang masuk ke tubuh kita sesuai dengan ajaran agama?
Kesadaran akan pentingnya obat halal menjadi semakin relevan setelah pemerintah melalui Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) menetapkan penahapan kewajiban sertifikasi halal untuk industri farmasi. Tahapan ini dimulai pada tahun 2026 untuk industri jamu, suplemen, dan produk rekayasa genetika. Selanjutnya, obat bebas wajib bersertifikat halal pada tahun 2029. Terakhir, obat keras (kecuali psikotropika) akan diwajibkan bersertifikat halal mulai tahun 2034.
Cakupan kewajiban ini tidak hanya mencakup produknya, tetapi juga layanan yang terkait, seperti jasa maklon (toll manufacturing), distribusi logistik, hingga penjualan di apotek atau toko.
Meski regulasi sudah disiapkan, kesadaran masyarakat terhadap pentingnya kehalalan obat masih rendah. Padahal, jika kita perhatikan, seseorang yang mengidap diabetes misalnya, akan sangat hati-hati dalam memilih makanan dan minuman. Ia rela menolak makanan tinggi gula atau bahkan menahan diri jika ragu terhadap kandungan suatu makanan. Ia juga aktif menjaga kesehatan dengan olahraga dan pola hidup yang disiplin.
Jika dalam hal menjaga fisik saja kita bisa begitu berhati-hati, mengapa tidak dengan hal yang menyangkut aspek spiritual seperti kehalalan obat?
Di sinilah peran edukasi menjadi penting. Halal bukan pada label, melainkan cerminan ketaatan dan tanggung jawab seorang Muslim terhadap apa yang masuk ke tubuhnya. Kesadaran ini harus dimiliki, baik oleh masyarakat umum maupun oleh tenaga kesehatan.
Sayangnya, menurut Dr. Siska, S.Si., M.Farm., Apt.—narasumber dalam program Teras TVMU bertema “Peran Profesi Apoteker dalam Menjamin Ketersediaan Farmasi Halal” (27 Mei 2024)—masih banyak lembaga layanan kesehatan dan tenaga kefarmasian yang belum memahami secara menyeluruh pentingnya farmasi halal. Padahal, farmasi halal merupakan upaya memastikan bahwa seluruh produk farmasi, baik obat, suplemen, maupun produk kesehatan lainnya, diproduksi dan disertifikasi sesuai prinsip syariat Islam.
Pertanyaannya kini, apakah para dokter, apoteker, rumah sakit, dan apotek sudah siap menjawab kebutuhan pasien Muslim terkait kehalalan obat? Apakah mereka bisa menjelaskan jika pasien bertanya, “Apakah obat ini halal? Apakah ada alternatif lain yang halal?”
Tentu saja, tanggung jawab ini bukan hanya milik BPJPH, tetapi juga seluruh elemen masyarakat dan tenaga profesional di bidang kesehatan. Edukasi tentang pentingnya kehalalan obat harus terus didorong, agar umat Islam benar-benar bisa menjalani hidup yang sehat—secara fisik maupun spiritual.