Sabtu, Juni 7, 2025
No menu items!

Pagar Laut yang Terlupakan (18): Kembali dengan Nyali

Must Read

PERAHU Perahu kecil itu membelah ombak dengan kecepatan sedang, menjauhi dermaga yang masih diramaikan suara tembakan dan jeritan. Rifki menoleh ke belakang, melihat pantai yang semakin jauh. Bayangan para nelayan yang bertahan melawan anak buah Heru membuat hatinya dipenuhi campuran emosi—marah, sedih, dan tekad yang semakin membaja.

“Kita harus ke mana sekarang?” tanya Tegar, tangannya masih mencengkeram kemudi perahu dengan erat.

Hasan, yang masih tampak lemah akibat penyiksaan yang dialaminya, bersandar di sisi perahu sambil mengatur napas. “Kita tak bisa kembali ke rumah. Irwan dan orang-orangnya pasti sudah mengawasi semua tempat yang berhubungan dengan kita.”

Rifki mengangguk. “Kita butuh tempat berlindung dan merencanakan langkah selanjutnya. Tapi ke mana?”

Hasan menatap cakrawala, lalu mengalihkan pandangannya ke arah utara. “Ada satu tempat. Pulau Kecil, di seberang teluk.”

Tegar menoleh cepat. “Pulau Kecil? Maksudmu tempat bekas tambak yang sekarang jadi lahan kosong itu?”

Hasan mengangguk pelan. “Dulu, sebelum Irwan merampas semua tanah ini, tempat itu adalah milik seorang nelayan tua bernama Pak Rahmat. Dia sudah lama meninggalkan pulau itu setelah tanahnya dirampas, tapi pondoknya masih ada. Tempat itu cukup jauh dari pantauan Irwan dan orang-orangnya.”

Rifki merenung sejenak. “Baiklah. Kita ke sana.”

Tegar mengarahkan kemudi ke utara, menuju Pulau Kecil yang samar terlihat di kejauhan.

Perjalanan menuju Pulau Kecil memakan waktu hampir satu jam. Sesampainya di sana, mereka menemukan pondok kayu tua yang disebutkan Hasan. Bangunannya terlihat reyot, tapi masih cukup kokoh untuk dijadikan tempat berteduh sementara.

Setelah memastikan keadaan aman, mereka masuk dan segera menutup pintu rapat-rapat.

Hasan merebahkan diri di atas lantai kayu dengan napas berat. Luka-luka di tubuhnya mulai terasa semakin menyiksa. Rifki dan Tegar membantunya duduk, lalu Rifki merobek sebagian bajunya untuk dijadikan perban darurat.

“Kita butuh persediaan,” ujar Tegar. “Makanan, air, dan obat-obatan.”

Hasan mengangguk lemah. “Dan kita juga butuh senjata.”

Rifki menatap kedua temannya dengan serius. “Aku bisa pergi ke kota. Mencari bantuan, membeli persediaan, dan mungkin mencari orang-orang yang masih mau berjuang bersama kita.”

Tegar tampak ragu. “Itu berisiko. Kota pasti sudah diawasi.”

“Aku tahu, tapi kita tak punya pilihan lain,” jawab Rifki. “Jika kita hanya bersembunyi di sini, kita akan mati perlahan.”

Hasan menghela napas. “Baiklah. Tapi kau harus sangat berhati-hati. Jangan sampai jejakmu terlacak.”

Rifki mengangguk. “Aku akan pergi sebelum subuh.”

Pagi buta, Rifki menyelinap keluar pondok. Ia mengenakan jaket lusuh dan topi untuk menyamarkan dirinya. Dengan perahu kecil, ia melintasi teluk dan mencapai daratan sebelum fajar menyingsing.

Jalanan kota masih sepi. Rifki berjalan dengan hati-hati, menghindari tempat-tempat yang kemungkinan besar diawasi. Ia menuju rumah Pak Widi, seorang pedagang beras yang dikenal sebagai pendukung perlawanan rakyat.

Pak Widi membuka pintu dengan wajah terkejut. “Rifki? Apa yang kau lakukan di sini?”

“Aku butuh bantuan, Pak,” bisik Rifki. “Kami butuh persediaan. Makanan, obat-obatan, dan… senjata, jika ada.”

Pak Widi menghela napas berat. “Keadaan semakin buruk, Nak. Setelah kalian melarikan diri, Irwan meningkatkan pengawasan. Banyak orang ketakutan.”

“Tapi pasti masih ada yang mau melawan, bukan?”

Pak Widi ragu sejenak, lalu mengangguk. “Ada beberapa. Aku bisa menghubungi mereka. Tapi kau harus cepat. Tempat ini tak aman.”

Rifki membantu Pak Widi mengemas beberapa karung beras, beberapa botol air, dan beberapa kotak obat-obatan. Saat ia hendak pergi, Pak Widi menariknya ke samping.

“Ini,” katanya sambil menyerahkan sebuah pistol kecil dan beberapa butir peluru. “Aku tak bisa banyak membantu, tapi ini mungkin berguna.”

Rifki menggenggam pistol itu dengan erat. “Terima kasih, Pak.”

Saat Rifki kembali ke dermaga untuk mengambil perahu, perasaannya tak enak. Terlalu sepi.

Ia melangkah dengan hati-hati, menyembunyikan diri di balik peti kayu. Saat itulah ia melihatnya.

Bram, tangan kanan Heru, berdiri tak jauh dari sana, berbicara dengan dua orang preman bersenjata. Mereka tampaknya sedang mengawasi area sekitar.

Rifki menahan napas. Jika mereka melihatnya, tamatlah sudah.

Dengan perlahan, ia merunduk dan melangkah mundur. Namun, sepotong kayu rapuh patah di bawah kakinya. Suara retakannya cukup keras.

Bram langsung menoleh. “Siapa di sana?”

Rifki tahu ia tak bisa lagi bersembunyi. Tanpa pikir panjang, ia berlari ke arah perahu.

“Dikejar dia!” teriak Bram.

Rifki melompat ke perahu dan segera menarik talinya. Ia menyalakan mesin, tapi sebelum sempat melaju, sebuah tembakan meletus.

Dor!

Peluru mengenai tepi perahu, nyaris mengenai kakinya.

Rifki membungkuk, lalu mengarahkan pistolnya ke arah Bram dan melepaskan tembakan balasan.

Dor!

Bram berteriak kesakitan, tangannya mencengkeram pundaknya yang berdarah.

Kesempatan itu cukup bagi Rifki untuk melarikan diri. Ia mengarahkan perahunya kembali ke Pulau Kecil dengan kecepatan penuh.

Setibanya di pondok, Tegar dan Hasan langsung menyambutnya.

“Kau baik-baik saja?” tanya Tegar cemas.

“Aku berhasil mendapatkan ini,” Rifki meletakkan barang-barang yang ia bawa. “Tapi aku juga nyaris tertangkap. Mereka tahu aku masih hidup, dan mereka akan mencariku.”

Hasan mengepalkan tangan. “Itu berarti kita tak punya banyak waktu.”

Tegar menatap pistol yang dibawa Rifki. “Jadi… kita akan melawan balik?”

Rifki mengangguk. “Kita tak bisa terus bersembunyi. Ini saatnya kembali dengan nyali.”

Di luar pondok, angin laut berhembus kencang. Perang belum usai, dan mereka siap untuk melanjutkan perlawanan.

(Bersambung ke seri-19: Serangan Balik di Malam Gelap)

Manfaat Daging Kambing yang Disukai Rasulullah

DAGING kambing adalah jenis daging yang cukup digemari masyarakat. Selain mudah diperoleh, daging kambing bisa menjadi berbagai macam masakan....
spot_img
spot_img

More Articles Like This