JAKARTAMU.COM | Bukan kekuatan militer atau ekonomi yang menjamin kelangsungan sebuah negara. Susilo Bambang Yudhoyono meyakini, masa depan sebuah bangsa sangat ditentukan oleh cara pemimpinnya menempatkan dirinya dalam sistem hukum dan tatanan sosial yang berlaku.
Di hadapan para tokoh nasional dan diplomat asing, Presiden ke-6 Republik Indonesia itu berbicara tentang gejolak tatanan dunia dan risiko-risiko yang muncul ketika pemimpin menanggalkan akal sehat dan moral publik.
“Satu abad terakhir, kita kerap menyaksikan negara kuat jatuh. Saya ulangi, negara kuat jatuh lantaran pemimpinnya meletakkan dirinya di atas pranata hukum, di atas sistem yang adil, dan di atas kesetiaan sejati terhadap negara dan rakyatnya,” ujar SBY dalam pidato bertajuk The World Disorder and the Future of Our Civilization di Jakarta, Rabu (30/7/2025).
Referensi SBY datang dari sejarah klasik seperti Revolusi Prancis 1789, yang ditandai absolutisme raja. “L’état, c’est moi,” kata Louis XIV, yang dipercaya SBY sebagai simbol penguasa yang meleburkan negara ke dalam kehendaknya sendiri. “Jangan-jangan, mengatakan Tuhan adalah saya. Ini yang sejarah terus koreksi dan terjadi di banyak belahan bumi,” katanya.
Di hadapan audiens yang mencakup mantan pejabat, tokoh masyarakat, serta perwakilan dari sejumlah negara sahabat, SBY mengutip karya Jared Diamond Collapse: How Societies Choose to Fail or Succeed. Buku itu menyebut lima faktor penyebab runtuhnya peradaban, yaitu kerusakan lingkungan, perubahan iklim, konflik, terganggunya hubungan dagang, dan buruknya respons internal terhadap krisis. Dari semua itu, yang paling menentukan justru bukan krisis itu sendiri, melainkan kegagalan untuk belajar.
“Peradaban tidak pernah jatuh karena berhadapan dengan tantangan, melainkan akibat kegagalan untuk belajar dan beradaptasi. Oleh karena itu, dianjurkan dalam abad ke-21 yang makin dinamis, kita harus bisa beradaptasi, to adapt and to adjust, to change ourselves for the better,” ujar SBY.
SBY berpidato diapit dua lukisan karyanya yang dipajang di panggung, yaitu Stop War, United for Peace dan Peace with Nature. Kedua karya itu bukan sekadar pelengkap visual. Di situ terbaca pesan personalnya tentang perdamaian dan keberlanjutan, tema yang menurut banyak pengamat tidak bisa dipisahkan dari strategi diplomasi masa kini.
SBY mengaitkan seni dengan komitmen etis dalam berpolitik. Dalam situasi global yang makin keras dan penuh ketegangan, bahasa visual, menurutnya, mampu membuka ruang pemahaman yang tidak tercapai lewat debat dan retorika. Ia menganggap seni sebagai bagian dari komunikasi strategis, terutama dalam diplomasi lintas budaya.
Profesor Jimly Asshiddiqie, pembina Yayasan Institut Peradaban yang menjadi tuan rumah acara tersebut, memuji sikap dan capaian SBY dalam menjalankan transisi demokrasi pascareformasi. Ia menyebutnya sebagai pemimpin yang menyelesaikan tugas kenegaraannya “dengan husnul khatimah”, serta terus berkontribusi dalam diskursus publik, termasuk dalam isu-isu lingkungan dan perdamaian global.
“Pak SBY tidak berhenti berkarya. Ia menunjukkan bahwa pengabdian tidak selalu harus lewat jabatan. Kesenian, warisan budaya, dan gagasan-gagasan kebangsaan yang beliau bangun menjadi bagian dari kontribusi yang terus berlanjut,” kata Jimly.
Dalam pidato SBY, pembahasan tentang ketegangan global dikaitkan dengan kemungkinan terjadinya perubahan besar dalam skala sejarah dunia. Jimly membandingkan situasi kini dengan fase-fase guncangan besar pada abad ke-20: krisis ekonomi 1930-an, dua perang dunia, dan transisi geopolitik global. “Besar kemungkinan, menuju pertengahan abad ke-21 akan terjadi another big-bang change in the world history,” ujarnya.
Jimly menyarankan agar bangsa Indonesia mempersiapkan diri sebaik mungkin, tidak dengan kepanikan, tetapi dengan membangun ketahanan intelektual dan institusional. Ia menutup sambutannya dengan menggarisbawahi urgensi memperkuat ruang dialog dalam masyarakat. “Masih ada cahaya untuk menerangi kegelapan konflik. Jangan biarkan perang dan kehancuran menjadi takdir. Biarkanlah dialog menjadi pilihan, agar peradaban yang telah kita bangun selama ini bisa terwariskan.”
Forum yang digelar oleh Institut Peradaban tersebut bukan hanya menjadi ajang refleksi, tetapi juga pengingat bahwa ketertiban dunia bukan sesuatu yang bisa diwariskan tanpa penjagaan. Ia perlu terus dirawat oleh para pemimpin yang tahu batas dirinya, yang menghargai hukum, dan yang bersedia belajar dari sejarah. (*)