JAKARTAMU.COM | Penyusunan mushaf Al-Quran dimulai di era Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq. Hal ini atas usul Umar bin Khattab. Pertimbangannya, pada saat terjadi peperangan Yamamah, terdapat puluhan penghafal Al-Quran yang gugur. Hal ini menjadikan Umar risau tentang “masa depan Al-Quran”.
Oleh karena itu, beliau mengusulkan kepada Khalifah Abu Bakar agar mengumpulkan tulisan-tulisan yang pernah ditulis pada masa Rasul.
Pada mulanya Abu Bakar ragu menerima usul tersebut –dengan alasan bahwa pengumpulan semacam itu tidak dilakukan oleh Rasulullah SAW– namun pada akhirnya Umar r.a. dapat meyakinkannya.
Keduanya pun sepakat membentuk suatu tim yang diketuai oleh Zaid ibn Tsabit dalam rangka melaksanakan tugas suci dan besar itu.
Zaid pun pada mulanya merasa sangat berat untuk menerima tugas tersebut, tetapi akhirnya ia dapat diyakinkan –apalagi beliau termasuk salah seorang yang ditugaskan oleh Rasul pada masa hidup beliau untuk menuliskan wahyu Al-Quran.
Dengan dibantu oleh beberapa orang sahabat Nabi, Zaid pun memulai tugasnya. Abu Bakar r.a. memerintahkan kepada seluruh kaum Muslim untuk membawa naskah tulisan ayat Al-Quran yang mereka miliki ke Masjid Nabawi untuk kemudian diteliti oleh Zaid dan timnya.
Prof Dr Quraish Shihab dalam bukunya berjudul “Membumikan Al-Quran” menjelaskan dalam hal ini, Abu Bakar r.a. memberi petunjuk agar tim tersebut tidak menerima satu naskah kecuali yang memenuhi dua syarat:
Pertama, harus sesuai dengan hafalan para sahabat lain.
Kedua, tulisan tersebut benar-benar adalah yang ditulis atas perintah dan di hadapan Nabi SAW. Karena sebagian sahabat ada yang menulis atas inisiatif sendiri. Untuk membuktikan syarat kedua tersebut, diharuskan adanya dua orang saksi mata.
Sejarah mencatat bahwa Zaid ketika itu menemukan kesulitan karena beliau dan sekian banyak sahabat menghafal ayat Laqad ja’akum Rasul min anfusikum ‘aziz ‘alayh ma ‘anittun harish ‘alaykum bi almu’minina Ra’uf al-rahim (QS 9:128).
Akan tetapi, naskah yang ditulis di hadapan Nabi SAW tidak ditemukan.
Syukurlah pada akhirnya naskah tersebut ditemukan juga di tangan seorang sahabat yang bernama Abi Khuzaimah Al-Anshari.
Demikianlah, terlihat betapa Zaid menggabungkan antara hafalan sekian banyak sahabat dan naskah yang ditulis di hadapan Nabi SAW, dalam rangka memelihara keotentikan Al-Quran.
Dengan demikian, dapat dibuktikan dari tata kerja dan data-data sejarah bahwa Al-Quran yang kita baca sekarang ini adalah otentik dan tidak berbeda sedikit pun dengan apa yang diterima dan dibaca oleh Rasulullah saw., lima belas abad yang lalu.
Semua Habis Dibagi 19
Rasyad Khalifah, yang menemukan rahasia angka 19, mendapat kesulitan ketika menemukan bahwa masing-masing kata yang menghimpun Bismillahirrahmanirrahim, kesemuanya habis terbagi 19, kecuali Al-Rahim.
Kata Ism terulang sebanyak 19 kali, Allah sebanyak 2.698 kali, sama dengan 142 X 19, sedangkan kata Al-Rahman sebanyak 57 kali atau sama dengan 3 X 19, dan Al-Rahim sebanyak 115 kali.
Di sini, ia menemukan kejanggalan, yang konon mengantarnya mencurigai adanya satu ayat yang menggunakan kata rahim, yang pada hakikatnya bukan ayat Al-Quran.
Kala itu, pandangannya tertuju kepada surah Al-Taubah ayat 128, yang pada mulanya tidak ditemukan oleh Zaid. Karena ayat tersebut diakhiri dengan kata rahim.
Menurut Quraish, sebenarnya kejanggalan yang ditemukannya akan sirna, seandainya ia menyadari bahwa kata rahim pada ayat Al-Taubah, bukannya menunjuk kepada sifat Tuhan, tetapi sifat Nabi Muhammad SAW.
“Sehingga ide yang ditemukannya dapat saja benar tanpa meragukan satu ayat dalam Al-Quran, bila dinyatakan bahwa kata rahim dalam Al-Quran yang menunjuk sifat Allah jumlahnya 114 dan merupakan perkalian dari 6 X 19,” ujar Quraish.