JAKARTAMU.COM | Pada suatu malam yang tak dicatat dalam kalender, seorang lelaki tua duduk dalam keterasingannya dan berkata: “Mereka bertanya, di mana ular-ular itu? Padahal ular-ular itu telah ada di dalam dirinya.” Begitulah cara Imam Al-Ghazali menjawab orang-orang yang menyangsikan adanya siksa kubur. Baginya, neraka bukan realitas eksternal, tapi sesuatu yang tumbuh dan membiak dalam jiwa.
Lebih dari sembilan abad sebelum dunia mengenal psikologi eksistensial dan psikoanalisis, Al-Ghazali sudah menelusuri lorong-lorong jiwa manusia dan menemukan kenyataan yang mengerikan: bahwa manusia menanam api nerakanya sendiri. Bahwa setelah kematian, jiwa tidak lenyap, melainkan telanjang—dihadapkan dengan dirinya sendiri.
Inilah satu dari sekian ajaran besar yang termuat dalam Kimia Kebahagiaan (The Alchemy of Happiness), karya klasik Al-Ghazali yang diterjemahkan oleh Haidar Bagir dan diterbitkan ulang oleh Penerbit Mizan. Buku itu bukan semata risalah filsafat atau sufisme. Ia adalah peta jalan bagi jiwa yang ingin mengenal hakikat keberadaannya.
Al-Ghazali menolak gagasan bahwa kehidupan setelah mati memerlukan kebangkitan jasad fisik. Ia berpihak pada pembuktian spiritual bahwa jiwa manusia tetap eksis setelah tubuh terurai. Ia mengutip sabda Nabi Muhammad: “Kematian adalah jembatan yang menyatukan sahabat dengan sahabat.”
Namun, tidak semua jiwa akan berjumpa dengan Tuhan dalam keadaan bahagia. Banyak di antaranya justru akan berhadapan dengan diri mereka sendiri—dan tak sanggup menanggungnya.
Tiga Neraka
Ada tiga jenis neraka yang digambarkan Al-Ghazali. Pertama adalah neraka kehilangan, yaitu derita karena keterikatan terhadap dunia. Orang-orang yang hidupnya dikendalikan cinta harta, anak, kekuasaan, atau status, akan menderita ketika semua itu dicabut oleh kematian. Mereka, menurut Al-Ghazali, ibarat raja yang dilucuti dari singgasananya dan ditertawakan rakyat.
Kedua adalah neraka malu eksistensial, ketika jiwa dipaksa menatap dirinya sendiri dalam cermin kebenaran. Orang yang suka menggunjing, kata Al-Ghazali, akan melihat dirinya sedang memakan daging saudaranya. Yang iri akan melihat batu yang dilemparkannya memantul dan menghantam anaknya sendiri. Penderitaan ini bukan karena cambuk atau api, tetapi karena kehancuran martabat diri di hadapan Tuhan.
Ketiga adalah neraka kegagalan ontologis, yaitu ketidaksampaian kepada tujuan penciptaan. Jiwa dicipta untuk mencerminkan Cahaya Ilahi, namun jika selama hidup hanya dibebani nafsu dan syahwat, ia akan sampai di akhirat sebagai cangkang kosong. Al-Ghazali menggambarkannya dengan perumpamaan tentang orang yang menolak mengumpulkan batu-batu berkilau di hutan gelap, yang belakangan terbukti sebagai permata dan zamrud.
Tentu ada yang bertanya: bukankah semua orang mencintai dunia? Siapa yang bisa selamat dari neraka seperti itu?
Al-Ghazali menjawab: ada dua kelompok yang mungkin terbebas. Pertama, mereka yang hidup dalam kefakiran dan tak memiliki banyak hal untuk dicintai. Kedua, mereka yang meski memiliki dunia, tapi lebih mencintai Allah. Yang terakhir ini seperti seseorang yang meninggalkan rumah kesayangannya demi jabatan mulia yang ditawarkan raja. Nabi dan para wali, kata Al-Ghazali, adalah tipe manusia seperti itu.
Namun kebanyakan orang, lanjutnya, akan tetap harus melewati proses pembakaran—disucikan dari cinta dunia—sebelum bisa mencapai kebahagiaan abadi. Cinta kepada Allah yang tidak mampu menahan diri dari maksiat, kata Al-Ghazali, bukanlah cinta sejati. Ia semata harapan palsu yang akan runtuh di hadapan kenyataan kematian.
Naskah Kimia Kebahagiaan bukan sekadar nasihat sufistik. Ia adalah tamparan filosofis bagi manusia modern yang sibuk mengejar benda, relasi, dan status. Ketika kehidupan dipahami sebagai akumulasi kenikmatan material, maka kematian hanya bisa tampak sebagai kehilangan. Tapi ketika hidup dipahami sebagai pencarian makna dan kedekatan dengan Yang Maha Abadi, maka kematian adalah awal dari perjumpaan.
Dalam konteks hari ini, ketika neraka lebih sering dibayangkan sebagai isu teologis atau metaforis belaka, Al-Ghazali mengembalikannya sebagai soal keberadaan jiwa yang konkret. Neraka itu nyata. Tapi ia bukan hanya soal api di luar sana. Ia bisa bermula dari rasa cemburu yang membara, dari cinta berlebih kepada dunia, dari penghinaan terhadap sesama, dari ketidaktahuan terhadap diri.
Dan yang paling menakutkan: neraka itu bisa sudah mengelilingi kita, bahkan sebelum kita mati. Al-Ghazali menyitir firman Tuhan, “Neraka mengitari orang-orang kafir”. Ia tak berkata “akan mengitari”, karena menurutnya, neraka itu sudah ada—dan sudah mulai membakar.