Jumat, Juni 20, 2025
No menu items!

Dari Janin Hingga Kubur: Pandangan Islam atas Akar Penyakit Mental dan Jiwa yang Terluka

Al-Qur’an dan Sunnah menyingkap lapisan terdalam dari penyakit kejiwaan: dari kecemasan yang tak sembuh oleh obat, hingga luka batin yang tertanam sejak dalam kandungan.

Must Read
Miftah H. Yusufpati
Miftah H. Yusufpati
Sebelumnya sebagai Redaktur Pelaksana SINDOWeekly (2010-2019). Mulai meniti karir di dunia jurnalistik sejak 1987 di Harian Ekonomi Neraca (1987-1998). Pernah menjabat sebagai Pemimpin Redaksi Majalah DewanRakyat (2004), Wakil Pemimpin Harian ProAksi (2005), Pemimpin Redaksi LiraNews (2018-2024). Kini selain di Jakartamu.com sebagai Pemimpin Umum Forum News Network, fnn.co.Id. dan Wakil Pemimpin Redaksi Majalah FORUM KEADILAN.

JAKARTAMU.COM | Seorang lelaki datang kepada Rasulullah ﷺ dengan keluhan sederhana namun membingungkan. Ia berkata, “Saudaraku sakit perut. Sudah diberi obat, tapi tak juga sembuh.” Sang Nabi menjawab dengan kalimat yang diabadikan oleh Imam Bukhari: “Perut saudaramu berbohong.”

Jawaban ini, yang tampak jenaka dalam tradisi hikmah, menyimpan kedalaman tafsir: bahwa keluhan fisik tak selalu bersumber dari fisik. Ia bisa saja lahir dari batin yang menderita. Sesuatu yang tak bisa disentuh jarum suntik atau ditakar dosis antibiotik.

Dalam Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat, Dr. M. Quraish Shihab mengajak pembacanya menelusuri dimensi lain dari kesehatan—yakni kesehatan jiwa, qalbu, dan akal. Sebuah wilayah yang kerap tak dijangkau dunia medis modern, tapi menjadi pusat perhatian Al-Qur’an.

Menurut Al-Qur’an, manusia tak hanya bisa sakit tubuhnya, tetapi juga sakit hatinya. Frasa “fi qulubihim maradh” (dalam hati mereka ada penyakit) muncul tak kurang dari sebelas kali dalam kitab suci. Penyakit ini, menurut pakar bahasa Ibnu Faris, adalah “segala sesuatu yang membuat manusia melampaui batas kewajaran, baik dalam bentuk kelebihan atau kekurangan.”

Penyakit hati akibat kelebihan, misalnya sombong, dendam, fanatisme buta, dan kerakusan. Sementara penyakit akibat kekurangan meliputi rasa takut yang berlebihan, cemas, rendah diri, hingga rasa tak berdaya menghadapi hidup.

Yang menarik, Al-Qur’an juga memberi perhatian pada penyakit akal. Ketidaktahuan bukan sekadar ketiadaan ilmu, tapi juga bisa menjadi bentuk penyakit berganda—seseorang yang tidak tahu bahwa ia tidak tahu. Inilah akar dari keraguan dan kebimbangan, yang menyesatkan seseorang jauh sebelum ia menyadarinya.

Hadis Nabi ﷺ menunjukkan bahwa akar kejiwaan seseorang bisa terbentuk bahkan sebelum lahir. Dalam satu riwayat, Nabi menegur seorang ibu yang menarik bayinya dengan kasar setelah sang bayi membasahi bajunya dengan air kencing.

“Jangan hentikan pipisnya, jangan renggut dia dengan kasar.
Pakaian ini dapat dibersihkan dengan air.
Tapi apa yang bisa menjernihkan hati sang anak yang engkau renggut dengan kasar?”

Dalam kalimat pendek itu, Nabi seolah mendahului psikologi perkembangan: bahwa luka-luka batin bisa tumbuh sejak buaian, dan kekerasan emosional bisa tertanam dalam jiwa jauh sebelum seseorang bisa mengucapkan kata “trauma”.

Dari sudut pandang Qur’ani, kesehatan jiwa bukan semata tentang stabilitas emosi, tapi tentang arah hidup. Tentang apakah hati terikat pada Allah atau tenggelam dalam dunia. Maka, yang beruntung kelak di hari akhir bukanlah yang bergelimang harta, tapi:

“…yang datang kepada Allah dengan hati yang sehat”* (QS Al-Syu’ara: 88-89)

Di tengah masyarakat yang makin cemas, gelisah, dan depresi, ajaran Islam memandang bahwa ketenangan jiwa tidak bisa dibeli, tapi bisa diperoleh melalui zikir, taubat, dan kesadaran spiritual.

“Sesungguhnya dengan mengingat Allah, hati menjadi tenteram”* (QS Al-Ra’d: 28)

Barangkali, itulah sebabnya penyakit jiwa dalam Islam tak selalu harus diobati dengan resep, tapi dengan pendekatan rohani, pendidikan moral sejak dini, dan lingkungan keluarga yang tenang. Islam bukan menolak medis, tetapi menyempurnakannya dengan makna.

Ketika masyarakat modern mulai menyadari bahwa tidak semua luka bisa dijahit, tidak semua derita bisa dibius, maka Al-Qur’an datang membawa pengingat: bahwa kesehatan sejati bukan hanya ketika tubuh sehat, tapi ketika hati tidak sakit.

Kang Dedi Mulyadi Minta Maaf kepada Mendikdasmen Abdul Mu’ti, Kenapa?

JAKARTAMU.COM | Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi melakukan hal yang tak biasa. Dia meminta maaf kepada Menteri Pendidikan Dasar...
spot_img
spot_img

More Articles Like This